Ilustrasi demo mahasiswa dan pemuda Papua di kantor DPR Papua beberapa waktu lalu untuk mendesak pemerintah menuntaskan masalah HAM di Papua – Foto: Dok.Jubi. |
Namun, Pemerintah Provinsi Papua menolak undangan tersebut, karena pembahasan HAM Papua mesti dilakukan di provinsi paling timur Indonesia ini, dengan melibatkan DPR Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan semua pemangku kepentingan di kabupaten (kota).
Anggota Komisi I DPR Papua, bidang politik, hukum, HAM, hubungan internasional, dan pemerintahan, Laurenzus Kadepa, sepakat dengan penolakan Pemprov Papua. Namun, menurutnya, yang terpenting bukan soal tempat pembahasan masalah dugaan pelanggaran HAM Papua, melainkan niat baik pemerintah Indonesia. Dibutuhkan niat baik pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah dugaan pelanggaran HAM di Papua
Menyelesaikan masalah HAM bukan sekadar pencitraan kepada dunia internasional, agar dianggap serius dan peduli pada korban.
“Kalau saya, di mana pun pembahasan masalah dugaan pelanggaran HAM Papua, apakah di Jakarta, di Papua, atau di luar negeri pun tidak masalah, selama pemerintah pusat benar-benar serius, bukan hanya untuk pencitraan," kata Kadepa kepada Jubi, Kamis, 8 November 2018.
Selama ini menurutnya, Pemerintah Indonesia dan para diplomatnya selalu menyinggung masalah penyelesaian dugaan pelanggaran HAM di Papua dalam forum-forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan forum internasional lainnya. Namun hingga kini, tak kunjung mendapat titik terang.
Jika Pemerintah Indonesia ingin membahas tentang penanganan dugaan pelanggaran HAM di Papua, katanya, harus benar-benar hingga ke akar masalah dan mencari solusinya.
“Jangan hanya sekadar pencitraan, ingin menunjukkan kepada dunia internasional kalau negara serius menyelesaikan masalah Papua. Selama ini kan pemerintah Indonesia selalu bicara masalah HAM Papua, tapi tak ada langkah konkret. Tak ada keseriusan," ujarnya.
Kepala kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey, mengatakan tidak tuntasnya berbagai kasus HAM di Indonesia, termasuk di Papua, memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk terus “mengganggu” Indonesia.
“Kasus HAM itu berdampak luas karena Indonesia menjadi bagian dari mekanisme HAM internasional,” kata Ramandey.
Kunjungan utusan PBB ke Indonesia, khususnya Papua selama ini merupakan bentuk peringatan kepada Pemerintah Indonesia terkait status HAM, termasuk di Papua. Hal tersebut dinilai bagian dari upaya intervensi meski itu tidak resmi dalam mekanisme Dewan HAM PBB.
“Lima hingga 10 tahun terakhir isu HAM Papua selalu dimunculkan dalam forum HAM PBB. Ini peringatan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi kovenan hak sipil dan politik, kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya,” kata Ramandey.
Katanya, aspek penting lain yang harus diwaspadai pemerintah Indonesia, adanya aspirasi politik masyarakat asli Papua. Posisi Indonesia akan terganggu dalam sebuah mekanisme politik dengan isu HAM. Isu ini memungkinkan mendapat simpati dunia internasional.
Ia mengatakan belajar dari pengalaman lepasnya Timor Leste, perubahan negara-negara internasional harus diantisipasi. PBB dan negara-negara anggotanya yang awalnya menyatakan mendukung integrasi Timor Leste dalam NKRI, akhirnya mengubah dukungan lantaran situasi Timor Leste yang terus bergejolak dan memakan banyak korban.
“Isu HAM ini menjadi pintu masuk. Kondisi Timor Leste kala itu menarik simpati, dukungan dan membuat negara lain serta PBB mengubah pendiriannya,” ujarnya.
Sekda Papua, Hery Dosinaen, mengatakan Pemprov Papua akan segera menyurati Kementerian Hukum dan HAM, tembusan ke presiden terkait penolakan pihaknya hadir dalam rapat tersebut.
Selain ingin pembahasan penanganan dugaan pelanggaran HAM dibicarakan di Papua dengan melibatkan berbagai pihak terkait, Pemprov Papua juga tidak dilibatkan dalam merancang draf Peraturan Gubernur (Pergub) penangan dugaan pelanggaran HAM di Papua yang diajukan Kementerian Hukum dan HAM. Rancangan itu dibuat sepihak oleh kementerian.
“Isunya, salah satu yang ada dalam draf Pergub tersebut yakni mengamanatkan Pemprov Papua membentuk tim penanganan dugaan pelanggaran HAM di Papua untuk kejadian di Wamena 2003 dan Paniai 2004,” kata Hery Dosinaen.
Padahal, lanjutnya, banyak kejadian di berbagai wilayah di Papua yang terindikasi kasus pelanggaran HAM, bukan hanya kasus Wamena 2003 atau yang dikenal dengan Wamena berdarah dan kasus penembakan di Paniai, 2014 lalu, yang menyebebkan empat remaja meninggal dunia dan belasan warga sipil terluka.
“Kemudian, konsekuensi pembiyaan kepada korban pelanggaran HAM bersumber dari dana Otsus,” katanya. (*)
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com