Kehadiran Koopsau di Biak Dinilai akan Perpanjang Luka OAP

Kehadiran Koopsau di Biak Dinilai akan Perpanjang Luka OAP
Ilustrasi pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Jayapura -- Anggota Komisi I DPR Papua bidang pemerintahan, pertahanan keamanan, politik, hukum, HAM, Laurenzus Kadepa menilai, pembentukan Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI yakni Komando Operasi Angkatan Udara (Koopsau) III di Kabupaten Biak Numfor, Papua, justru akan memperpanjang luka dan trauma masa lalu orang asli Papua (OAP).

"Kalau di daerah lain terserah, tapi kalau di Papua jangan dulu. Luka lama dan trauma masyarakat asli Papua terhadap militer masih ada hingga kini. Selain itu, kekerasan masih terus terjadi," kata Kadepa via teleponnya kepada Jubi, Kamis (13/9/2018).

Menurutnya, sebelum memikirkan hal lain, yang mesti dipikirkan terlebih dulu adalah bagaimana menyelesaikan masalah yang ada kini. Jika masalah yang ada belum dituntaskan, dan mau membentuk satuan lagi, patut diduga ada sesuatu di balik itu.

"Mungkin peristiwa yang terjadi di Papua selama ini disengaja, untuk kepentingan tertentu. Tidak mau lagi orang asli Papua hidup," ujarnya.

Katanya, ia tidak melarang jika tujuannya untuk mengamankan wilayah NKRI, karena itu merupakan kewenangan negara. Namun untuk konteks Papua, harus melihat aspek kemanusiaan, karena hingga kini orang asli Papua masih luka dan trauma.

"Pikirkan dulu bagaimana menyembuhkan luka-luka itu. Terakhir Amnesty Internasional (AI) meminta Presiden Jokowi menuntaskan janji kampanye menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Komnas HAM wilayah Papua, Frits Ramandey mengatakan, memang benar negara punya tanggung jawab menjaga teritorial wilayahnya. Namun dari aspek HAM, kehadiran armada, batalyon, unit keamanan dan lainnya, harus membawa rasa aman terhadap masyarakat.

"Itu penting. Komnas HAM meminta Panglima TNI menunda dulu pembentukan atau pembangunan pangkalan (instalasi militer) baru, kalau belum selesai dibicarakan dengan masyarakat pemilik ulayat," kata Ramandey.

(Lihat ini: Korban Biak Berdarah Tolak Solusi Apapun dari Pemerintah Selain Merdeka)

Menurutnya, hingga kini banyak instalasi militer yang masih bermasalah dengan masyarakat adat. Komnas HAM meminta jika membangun instalasi militer di Papua, panglima TNI harus memastikan masalah hak ulayat telah diselesaikan.

"Tapi ini tidak serta merta dibangun. Dilihat untuk Papua itu kebutuhan pertahanannya apa, apa yang emergency dan lainnya," ucapnya.

Selain itu lanjut Ramandey, harus dibicarakan dengan otoritas sipil yang ada di Papua dan kabupaten (kota), sehingga dari aspek HAM, pendirian itu memberikan rasa aman kepada masyarakat baik secara fisik maupun psikis dan harus diawali dengan esesmen atau melibatkan publik.

"Kalau membuka instalasi baru, itu tiga pertimbangan yang kami minta. Kami minta panglima TNI mempertimbangkan aspek sosialnya dulu karena pertahanan yang baik adalah pertahanan semesta rakyat, bukan membangun instalasi militer," katanya.

Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto mengatakan, TNI mengajukan penambahan anggaran senilai Rp 1,5 triliun dalam pagu anggaran TNI pada 2019, untuk kebutuhan pembangunan organisasi baru di wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi Selatan, Papua Barat dan Papua.

Katanya, anggaran itu untuk pembangunan sarana dan prasarana, pemilihan material khusus, senjata dan perlengkapan lainnya.

"Paling banyak adalah untuk pembangunan infrastruktur kemudian melengkapi material khusus, karena kalau pasukan khusus beda dengan yang lain," kata Hadi usai rapat kerja dengan Komisi I DPR dan Kementerian Pertahanan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Selain itu, tambahan anggaran akan digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana keperluan organisasi baru tersebut. Seperti gedung, perumahan prajurit hingga dermaga.

Pada 11 Mei 2018, Hadi meresmikan empat satuan baru di wilayah Timur Indonesia, yakni Divisi Infanteri 3/Kostrad di Makassar (Sulawesi Selatan), Koarmada III di Sorong (Papua Barat), Koopsau III di Biak (Papua), dan Pasmar-3 Korps Marinir di Sorong (Papua Barat).

Peresmian empat satuan TNI itu disebut merupakan bagian dari rencana TNI yang telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomer 10 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomer 62 Tahun 2016 serta Program 100 hari kerja Panglima TNI. (*)

Subscribe to receive free email updates: