Daya "Ledak" #2019GantiPresiden




Terpilihnya seseorang menjadi pemimpin mayoritas banyak ditopang oleh momentum. Momentum itu ada dua asalnya, yaitu momentum yang diciptakan dan alamiah. Dalam konteks kepemimpinan Indonesia setidaknya kita bisa mengambil kasus pada pergantian era orde baru ke reformasi sampai terakhir masa Jokowi menjadi Presiden RI.

Saya mengambil contoh yang terdekat yaitu pergantian dari era SBY ke Jokowi. Saat Jokowi maju keinginan publik terhadap sosok yang tampil dengan personal brand baru sangat kuat. Ikon yang paling mendapatkan tempat khusus adalah kesederhaan dan itu dimanfaatkan oleh Jokowi.

Tagline "Jokowi Adalah Kita" menjadi representasi sosok Jokowi sebagai orang Indonesia pada umumnya yang sederhana. Jangan salah kalau kemudian activity branding yang ia lakukan lebih kepada event yang emosional, seperti naik motor, naik sepeda, lihat gorong - gorong makan di warteg.

Empat tahun berjalan kepemimpinan Jokowi ternyata sudah berubah drastis. Ada dua faktor menurut saya yaitu, pertama ketidakmampuan menjaga brand itu sendiri sehingga publik lebih cepat pada titik jenuh. Merawat brand ini yang sering dilupakan oleh banyak orang, seolah - olah kalau sudah memiliki pasar diangggap selesai.

Padahal dalam teori branding tidaklah demikian, ada hal yang strategis yaitu merawat brand yang telah dibentuk. Tujuannya agar titik jenuh publik tidak cepat datang. Tapi Jokowi tidak melakukan justru melupakan itu.

Nah, sekarang saya akan bicara ledakan #2019GantiPresiden. Suka atau tidak, mau atau tidak #2019GantiPresiden menjadi "ledakan" yang dahsyat. Kenapa saya katakan ledakan, karena hampir semua elemen masyarakat terlibat di dalamnya.

Mulai artis, ibu rumah tangga, politisi, pengusaha, buruh, remaja, santri dan ulama membaur dengan #2019GantiPresiden. Ledakan ini sebenarnya sejak awal tidak terlalu besar, tapi karena dianggap remeh oleh pihak Jokowi maka menggelinding menjadi bola salju dan sekarang menjadi kekuatan besar.

Bahkan, #2019TetapJokowi tak mampu menyaingi ledakan #2019GantiPresiden. Ledakan #2019GantiPresiden bak bom atum yang menyebar kemana- mana, apalagi saat Neno Warisman dan beberapa ikon #2019GantiPresiden mendapat tekanan. Ibarat per, semakin ditekan maka hentakannya akan semakin kuat, inilah yang sedang terjadi.

Beberapa daerah di Indonesia, panitia #2019GantiPresiden mendapat tekanan dari orang yang merasa terganggu dengan hastag ini. Alih - laih menciutkan nyali para relawan, justru semakin membuat hastag ini menyebar.

Inilah gerakan sosial di era teknologi, itu makanya menggunakan hastga karena gerakan ini menggunakan sosial medai sebagai alat penyebarannya. Inilah gerakan era modern yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gerakan ini nyaris tak terdengar dalam konsolidasinya karena menggunakan sosial media.

Sosial media seperti pabrik gerakan di era modern, maka siapapun yang menguasai media sosial maka dia akan mampu menggerakan publik. Bagi pihak yang merasa terganggu dengan ledakan ini pasti akan melakukan sesuatu yang bisa membendung gerakan ini.

Namun sayang mereka menyamakan "ledakan" hastag ini dengan ledakan era reformasi. Padahal jelas ada perbedaan yang cukup mendasar. Jika era reformasi mengkonsolidasikan gerakan melalui copy darat tapi sekarang lebih banyak menggunakan ruang maya.

Itulah arena pertempuran yang sekarang dikuasai oleh kubu #2019GantiPresiden. Penguasaan medan tempur dunia maya oleh gerakan ini wajar mengingat mereka mayoritas adalah kelas menengah, generasi milineal yang bukan saja selesai masalah kebutuhan basicnya (papang, pangan sandang) tapi juga akrab dengan teknologi informasi, khususnya sosial media.

Saya prediksi, gerakan dengan basis teknologi informasi pada 10 tahun yang akan datang akan lebih dahsyat lagi seiring dengan perkembangan teknologi. Kemampuan adaptasi yang cepat menjadi sesuatu hal yang harus dimiliki sehingga bisa menguasai medan pertempuran dunia modern.

Penulis, Karnoto
Founder Maharti Netoworking
https://ift.tt/2nsB3zx

Subscribe to receive free email updates: