Hari ini, ketika sampai di sekolah, pertama kali yang saya cari adalah siswa yang selama dua minggu belakangan saya bina public speakingnya. Dia akan mengikuti lomba dan harus intens berlatih ceramah di depan saya.
Kompetisi itu dilaksanakan akhir pekan kemarin, sehingga beberapa hari sebelumnya, ia harus menyiapkan naskah dan mencobanya di hadapan saya. Di depan kedua mata saya, agar saya bisa mengoreksi apa yang harus ditambahkan dan apa yang harus dikurangi.
Awalnya, saya membiarkan dia mencari naskah sendiri, "Silakan buat naskah sendiri untuk pidato tujuh sampai delapan menit!"
Hingga beberapa hari kemudian, dia menghadap ke saya dengan sebuah naskah yang hanya satu halaman A4 saja. Haduh! Naskah sependek itu, paling dibaca dua menit saja kelar. Bagaimana akan menjadi juara?
Saya agak jengkel ketika dia menyerahkan naskah yang seumprit itu. Tapi, saya tidak memunculkan kemarahan di depannya. Yang keluar dari lisan saya malah, "Baik, nanti Ustad buatkan deh naskahnya," ujar saya.
Padahal dalam hati bergumam sendirian, bagaimana ini! Lomba sebentar lagi dan naskah belum ada! Apa bisa juara kalau begini? Kapan lagi latihannya?
Tapi, mengeluh terus tanpa berbuat apapun tentu tidak memberikan hasil yang baik, bukan? Maka malam itu, ketika kompetisi menyisakan beberapa hari saja, saya lembur membuat naskah pidato dia dan kawannya.
Saya beruntung, karena sering menulis di blog dan membuat buku, maka menghasilkan naskah pidato tidak begitu berat. Lima halaman A4 saya selesaikan sekitar empat puluh menit saja. Saya baca berulang-ulang, saya tambal sana-sini, hingga ketika merasa sudah oke sekali, akhirnya saya kirim ke salah satu rekan guru, meminta bantuan beliau untuk mengeprintnya.
Keesokan harinya, saya minta dia menghafalkan naskah tersebut dan memeragakannya di depan saya. Sudah seperti ahli saja saya, membenarkan gerakan dia, mimik wajah, dan juga intonasi. Kapan harus berteriak, berkata lembut, melakukan penekanan pada beberapa kata, dan sebagainya.
Siswa yang saya bina sampai agak lelah mengikuti apa yang saya minta. Boleh jadi, dalam hatinya bergumam, "Ustad ini bisanya cuma mengatur begini dan begitu saja. Saya kan lelah Ustad. Setelah seharian sekolah, sore hari malah harus latihan!"
Tapi saya tidak peduli!
Toh, kalau lombanya menang, yang senang dan bangga adalah dia dan orang tuanya. Bukan saya. Maka tetap saja saya gembleng dia sedemikian rupa.
Hingga tadi pagi, ketika baru sampai di sekolah, saya menemuinya, bertanya, "Bagaimana pengumuman lombanya?"
Dia cuma meringis, memamerkan giginya yang tidak rapi, berujar sambil menggamit tangan saya, menjabat erat dan menciumnya, "Alhamdulillah Ustad, juara dua!"
Dengan sangat tulus, saya usap kepalanya, "Kamu memang hebat, Nak! Nggak salah Ustad pilih kamu dari sekian puluh orang yang seleksi kemarin!"
.
.
.
.
....adalah sebuah kebahagiaan bagi seorang guru, ketika mendapati siswanya meraih keberhasilan. Tidak ada yang lebih baik daripada itu.