Ketua II Legislatif ULMWP, Mr. Buchtar Tabuni. Saat ini Ia sedang menjalani hukuman di Kalimantan atas tuduhan aksi makar di Papua, Agustus - September 2019. |
Jayapura, – Ketua Komite Legislatif United Liberation Movement For West Papua atau ULMWP, Buchtar Tabuni meminta Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua segera menyerahkan mandat urusan politik kepada ULMWP. ULMWP sebagai wadah pemersatu rakyat Papua patut menerima mandat politik untuk memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri.
Buchtar Tabuni menyatakan berbagai elemen perjuangan kemerdekaan Papua telah tergabung di dalam ULMWP. “ULMWP sebagai wadah pemersatu bangsa Papua akan berunding dengan negara Indonesia, dengan dimediasi langsung oleh Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB, untuk mendapatkan Hak Penentuan Nasib Sendiri,” kata Tabuni di Jayapura, Jumat (23/8/2019).
Buchtar menyebut, persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Jawa Timur telah memantik reaksi dari orang Papua, dan membuktikan orang Papua telah bersatu. “Masyarakat menunjukkan bahwa setelah Otonomi Khusus bagi Papua [gagal, maka solusi bagi Papua] adalah pengakuan sebagai bangsa yang berdaulat. Serahkan mandat politik rakyat bangsa Papua sepenuhnya kepada ULMWP untuk berunding dengan Pemerintah Indonesia,” kata Tabuni.
Sebelumnya Ketua Eksekutif ULMWP/Pemimpin Politik Bangsa Papua Benny Wenda menyatakan keprihatinannya atas serangkaian kasus persekusi, intimidasi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di berbagai kota di Indonesia. “Saya selaku Ketua Eksekutif dan pemimpian Bangsa Papua menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas situasi mahasiswa Papua di Indonesia khususnya di Semarang, Malang, Surabaya, Ambon, Ternate, Sulu-Maluku, kemudian di West Papua di Kota dan Kabupaten Jayapura,” kata Wenda.
Foto: Buchtar Tabuni (sebelah kanan). Ia sedang memimpin Sidang Parlemen Nasional West Papua (Nieuw Guinea Raad) di West Papua. |
Wenda menyatakan Pemerintah Indonesia berupaya membungkam berbagai ekspresi politik orang Papua terkait Perjanjian New York 1962, Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969, maupun dukungan rakyat Papua bagi pertemuan para pemimpin Negara-negara Forum Kepulauan Pasifik yang bersidang di Tuvalu pada 13-16 Agustus 2019. “Pemerintah Indonesia telah membubarkan sejumlah aksi, menangkap 227 peserta aksi. Sejumlah 39 orang Papua mengalami pemukulan dan pelemparan,” kata Wenda.
Wenda menyebut persekusi dan rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur dan Semarang merupakan gambaran kecil dari 56 tahun praktik pemerintahan Pemerintah Indonesia di Papua. Ia menyebut, persekusi, intimidasi, diskriminasi, dan rasisme juga pernnah dialami rakyat dan pemimpin Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
“Reaksi dan aksi rakyat bangsa Papua di beberapa tempat di West Papua-di Manokwari, Kota Sorong, Sorong Selatan, Jayapura, Kaimana, Bintuni, Serui, Biak, Merauke, Wamena, Nabire dan beberapa tempat lainnya merupakan reaksi spontanitas mereka yang membela harga diri dan martabat orang Papua sebagai manusia ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Indonesia tidak boleh meresponnya dengan kekerasan,” kata Wenda.(*)
Copyright ©Jubi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com