Bintang Kejora di Oxford

Bintang Kejora di Oxford
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Sudah lama sejak Benny Wenda terakhir melihat kampung halamannya sendiri. Sejak 2002, aktivis Papua yang termasyhur ini memperoleh suaka politik di Inggris. Kini ia tinggal di kota tempat Universitas Oxford berdiri—di belahan dunia lain, jauh dari pegunungan rimbun Papua tempat ia berasal.

Jalan yang membawa Benny ke Inggris dimulai jauh sebelum ia dilahirkan. Hingga 1961, Papua masih dianggap sebagai wilayah koloni Belanda; status ini berakhir ketika rakyat Papua mendeklarasikan kemerdekaan mereka pada 1 Desember 1961. Indonesia, bagaimanapun, dengan cepat mengklaim Papua merupakan bagian dari wilayahnya sendiri, kemudian menyerbu dan menduduki Papua. Pada 1969, klaim Indonesia atas Papua akhirnya mendapat pengakuan PBB setelah diselenggarakannya referendum Act of Free Choice, atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)—sebuah proses yang terindikasi berlangsung penuh kecurangan. Sebanyak 1.026 orang Papua (dari populasi yang seharusnya berjumlah 800.000 jiwa) dipaksa untuk menerima integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia. Sejak saat itu, Papua secara ‘de facto’ berada di bawah kekuasaan militer Indonesia, sementara mereka yang menolak: diawasi, diintimidasi-dipersekusi, dipenjara, hingga menjadi korban berbagai tindak kekerasan.

Sebagian besar orang Papua menolak pendudukan Indonesia. Beberapa dari mereka kemudian mengambil peran yang lebih aktif dalam mendorong kemerdekaan—salah satunya melalui kelompok seperti Gerakan Persatuan untuk Pembebasan Papua (ULMWP, atau United Liberation Movement for West Papua), sebuah koalisi yang terdiri dari tiga organisasi besar pro-kemerdekaan.

Saat ini, kepemimpinan ULMWP—serta tanggung jawab besar yang harus dipikul pihak yang mengembannya—berada di pundak satu orang: Benny Wenda. Pada Agustus 2018, New Naratif menemuinya untuk memahami motivasi, tujuan, dan kegigihannya dalam menghadapi berbagai tantangan yang luar biasa.

Pemerintah Indonesia seringkali menggambarkan Benny sebagai pengkhianat bangsa yang manipulatif dan keras kepala; lain kalinya, seorang demagog subversif yang bertujuan memecah belah Republik Indonesia. Kami sendiri, menjelang wawancara, membayangkannya sebagai laki-laki yang penuh semangat, kekuatan, dan memiliki kharisma luar biasa. Yang kami dapati, tak disangka, adalah sosok yang sangat berbeda.

Kesan awal saat menemui Benny adalah seorang pria yang ramah, lembut, penuh kehangatan dan penuh canda. Namun, penggambaran ini pun kurang tepat: ia terlihat sedikit lebih tua dari umur sebenarnya—pada saat wawancara ini berlangsung, Benny berusia 45 tahun.

Di atas segalanya, ia tampak sebagai seorang yang penuh martabat. Benny lancar berbicara dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, lengkap dengan aksennya yang kental. Kata-katanya dituturkan dengan pelan dan tak meletup-letup, seakan menanggung beban pengalaman yang menyakitkan. Sepanjang wawancara, ia selalu tampak tenang dan hampir tak tergoyahkan—bahkan saat menjawab pertanyaan sensitif, yang ia tanggapi dengan rasa humor dan kerendahan hati.

Masa Kanak-kanak yang Berakhir Terlalu Cepat

Dilahirkan pada 1974 di wilayah pegunungan Papua, Benny Wenda kecil tumbuh besar di Distrik Pirime yang merupakan jantung Kabupaten Lanny Jaya. Jarak antara wilayah tempat Benny tinggal di Provinsi Papua dengan ibukota Jakarta lebih dari 2.000 mil—setara dengan jarak antara Jakarta dan Vientiane, ibukota Laos.

“Saya besar bersama ibu saya, [merawat] kebun. Saya belajar cara membuat busur dan anak panah. Saya belajar bercocok-tanam ubi,” kisahnya sambil mengenang masa kecil.

Kehidupan yang tenang ini berlangsung hingga 1977, ketika militer Indonesia tiba di desa Benny dan mengubah segalanya. Ia menceritakan kepada kami akan penindasan, kekerasan, dan kebrutalan sepanjang periode ini, termasuk pemeriksaan dan pengawasan terus-menerus oleh militer. Beberapa bibinya diperkosa dan dibunuh.

Pada 1977 dan 1978, Indonesia meluncurkan operasi militer besar-besaran di kawasan Pegunungan Tengah Papua sebagai tanggapan atas meningkatnya pemberontakan yang terjadi sekitar pemilihan umum 1977. Militer Indonesia datang membombardir desa-desa, dan menghancurkan kebun-kebun yang siap panen.

Tidak ada catatan resmi akan jumlah orang yang terbunuh dalam operasi tersebut. Namun, pada 1981, mantan gubernur Papua Eliezener Jan Bonay sempat bersaksi di hadapan Pengadilan Hak Asasi Manusia bahwa jumlah korban jiwa di Papua mencapai sekitar 3.000 jiwa. Pendeta Obet Komba, seorang imam dari Lembah Baliem, melaporkan bahwa operasi militer menyebabkan kematian 11.000 orang akibat penembakan, penyiksaan, wabah penyakit dan kelaparan—dan itupun baru di wilayah Jayawijaya. Diperkirakan bahwa sebanyak 9.000 orang lain menjadi korban jiwa di Wamena, Piramida, Kurulu, Kelila, Bokondini dan Kobakma; selain itu, terdapat pula 2.000 kasus kematian di Pegunungan Timur.

Rangkaian tragedi tersebut sudah lebih dari 40 tahun berlalu. Namun, mereka yang sempat menyaksikannya masih dapat mengingat dengan jelas. Saul G Bomay, juru bicara Dewan Revolusi Komando Tentara Pembebasan Nasional Gerakan Papua Merdeka (TPN-OPM), mengenang begitu banyaknya korban yang jatuh: “Banyak dari mereka kelaparan sampai mati. Tidak ada makanan [karena] kebun telah dikuasai oleh militer pro-Indonesia. Kami melarikan diri ke Baliem bagian utara, pusat Membramo, Tolikara, Puncak Jaya, Ilaga, dan Mulia.” Daerah-daerah tersebut terletak di dataran tinggi tengah Papua.

Didukung oleh Amerika Serikat, operasi militer Indonesia membuat rakyat Papua tidak dapat lagi menjalankan aktivitas kehidupan di desa. Bersama tetangga satu desa mereka, keluarga Benny pun terpaksa mengungsi ke pegunungan. Ia sendiri terluka karena serangan militer, tetapi tidak dapat memperoleh pertolongan medis. Kurangnya perawatan untuk Benny kecil menyebabkan salah satu kakinya secara signifikan lebih pendek dari yang lain, hingga hari ini.

Tahun berikutnya, ketika Benny baru berusia lima tahun, keluarganya ditangkap oleh militer Indonesia saat melintasi pegunungan. “Ibu saya dipukuli di depan mata saya. Saya masih kecil dan tidak bisa melakukan apa-apa,” kenangnya.

Ayah Benny mempertaruhkan nyawa untuk melindungi putranya. Ia menggendong Benny di bahunya sambil berlari. Tetapi militer berhasil mengejar mereka. Ayahnya kemudian memohon kepada para tentara untuk membiarkan Benny kecil tetap hidup. “Setelah peristiwa itu saya tidak pernah melihatnya [ayah] lagi,” kata Benny. Ingatan terakhir Benny akan ayahnya adalah sang ayah yang penuh darah, dipukuli, dan memohon keselamatan putranya.
Bintang Kejora di Oxford
Masih banyak kisah mengenai keluarga dan desanya yang dapat Benny ceritakan, tetapi ia menolak untuk berbagi lebih lanjut. Ingatan-ingatan itu terlalu menyakitkan.

Beranjak Keluar dari Hutan

Menurut biografinya, Benny dan keluarganya tinggal di hutan dari tahun 1977 hingga 1983. Mereka tak bisa bertahan lebih lama lagi dalam tempat persembunyian. Peristiwa mengenaskan terakhir yang dialami keluarganya di hutan adalah kematian sang nenek; dalam biografinya, diceritakan bahwa kakek Benny mendesak anak-anak untuk pergi meninggalkan hutan. Ia berpesan kepada ibu Benny bahwa penting “agar suatu hari [Benny] tahu apa yang terjadi pada kami, dan mengapa [itu terjadi]…dan suatu hari, ia akan mengambil tindakan.”

Setelah ibunya meninggal karena luka-luka akibat pemukulan oleh tentara Indonesia, Benny diadopsi oleh pamannya. Ia telah kehilangan segalanya, dan masa depannya tampak suram. Saat itu, Benny masih terlalu muda untuk memahami situasi dengan utuh. Ia masih ingat merasa tidak nyaman bahwa gurunya di sekolah adalah anggota militer—terlebih setelah apa yang dialami oleh keluarganya.

“Saya takut dan trauma,” kenangnya. Dan ini bukan hanya soal gurunya: kehadiran militer Indonesia di Papua juga berarti bahwa Benny akan melihat tentara di desanya sendiri. Hal itu membuatnya panik. “Saya kabur. Saya tidak ingin melihat militer.”

Akhirnya, sang paman membawanya ke Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, dengan harapan bahwa Benny dapat melanjutkan sekolah di sana. Maksud sang paman memang baik, namun, saat itu—dan hingga sekarang—kota Jayapura masih dikuasai oleh militer Indonesia.

Benny ingat benar teror yang ia rasakan setiap kali melihat seorang tentara atau polisi. Kala itu, ia mencoba mengatasi rasa takutnya dengan mengubur dalam-dalam ingatan akan apa yang terjadi di pedalaman hutan ketika ia lebih kecil. Keadaan jadi lebih buruk ketika ia mulai dirisak oleh teman-teman sekelasnya, yang merupakan anak-anak transmigran dari berbagai daerah di Indonesia.
Bintang Kejora di Oxford
“Saya duduk di sebelah seorang anak gadis, ia kemudian menatap saya dan meludahi wajah saya. Saya pikir, mungkin, perasaan saya, mungkin saya bau. Mungkin saya kurang mandi,” ujarnya, sambil tersenyum mengenang kepolosan dan kenaifannya sendiri sebagai siswa sekolah menengah.

Benny kemudian membeli sabun dan mandi tiga kali sebelum masuk sekolah pada hari berikutnya. Namun, siswa itu meludahinya lagi. Teman-teman sekelasnya menertawakannya. Barulah kemudian ia sadar: ini bukan soal kebersihan pribadi. Ini rasisme.

“Anda pikir itu karena saya hitam, karena saya orang Papua, saya kotor!?! Saya memiliki mata, saya memiliki tangan… Saya manusia—sama seperti Anda! Kita ini manusia dan kita semua layak diperlakukan sama. Dengan sehormat-hormatnya,” tegas Benny, dikutip melalui situs webnya. Namun, prasangka dan bias yang ia hadapi hanya mengakar semakin dalam: guru dan siswa Indonesia lainnya menggunakan kata-kata seperti “bodoh”atau “kotor” untuk merujuk pada siswa Papua. Ada juga kecenderungan untuk melihat orang Papua sebagai primitif dan tidak punya tata-krama. Bahwa beberapa pria Papua tidak mengenakan apapun selain koteka, misalnya, menimbulkan reaksi seperti cemoohan—yang menunjukkan bahwa praktik itu tak bisa diterima.

Benny bukan satu-satunya korban rasisme. Banyak anak Papua mengalami kejadian serupa saat mereka bersekolah—bahkan hingga hari ini. Pada Agustus 2019, muncul gelombang protes baru yang disebabkan penghinaan dan pelecehan rasis terhadap pelajar Papua di Surabaya, Jawa Timur. Pendekatan militeristik terhadap rangkaian aksi protes ini berujung pada kematian lebih dari 33 orang Papua. Niscaya, para demonstran pun semakin marah dan membakar gedung serta fasilitas umum. Sebulan kemudian, aksi protes yang berbeda meletus di Wamena, Provinsi Papua. Mirisnya, penyebabnya sama sekali tak asing: seorang guru diduga mengolok-olok seorang siswa Papua dengan cibiran “monyet”. Sebagian besar korban kerusuhan kali ini merupakan transmigran dari luar Papua, meninggalkan kemarahan dan permusuhan antara kedua kelompok (Papua dan pendatang non-Papua).

Setelah berhasil menyelesaikan sekolah dasar dan menengah pertama, Benny mengambil studi Elektro di sekolah kejuruan milik pemerintah di Abepura, Jayapura. Danny—kami hanya menggunakan nama depannya karena alasan keselamatan—merupakan teman dekat Benny yang satu kelas bersamanya selama tiga tahun. Kepada New Naratif, Danny menceritakan bahwa sebagai seorang remaja, pemimpin masa depan ULMWP itu adalah “seorang yang sangat pendiam dan serius”. Hanya sewaktu-waktu ia membuat lelucon yang membuatnya disukai teman-teman sebayanya. Namun, Benny sama sekali tidak pernah bercerita mengenai keluarganya—maupun keterlibatannya dalam perjuangan melawan pemerintah Indonesia.

Lahirnya Kesadaran Politik

Benny kemudian melanjutkan kuliah di Program Studi Sosiologi di Universitas Cendrawasih di Jayapura. Ini adalah titik balik dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk belajar tentang identitasnya: budayanya, bangsanya, serta asal-usulnya.

Minat Benny yang tinggi untuk belajar sejarah Papua membuat banyak pihak khawatir; salah satunya adalah seorang dosen di universitasnya. Dalam wawancara dengan New Naratif, Benny mengungkapkan bagaimana sang dosen memperingatkannya: “Benny, hati-hati. Kamu terlampau agresif [mencari] informasi [tentang sejarah Papua], ini akan [menempatkanmu dalam] bahaya.” Terutama karena, tambah dosen tersebut, Benny berasal dari pegunungan, pusat sebagian besar perlawanan orang Papua terhadap militer Indonesia.

Seperti wilayah maritim Asia Tenggara lainnya, Papua terbentang menghadap ke laut. Kota-kota besar berada di dekat pesisir dan umumnya terhubung ke dunia melalui jaringan perdagangan dan informasi. Namun, mereka yang berada di pegunungan memiliki konektivitas yang jauh lebih minim—tidak hanya ke daerah sekitar pesisir, tetapi juga ke bagian pegunungan lainnya. Kombinasi antara lokasi yang terpencil dan tidak adanya kebebasan pers maupun alternatif sumber informasi lainnya (yang berlangsung hingga saat ini, tetapi terutama pada dekade 1970-80) menyebabkan penduduk asli Papua yang banyak menetap di pegunungan kurang terpapar informasi tentang kejadian terkini.

Kondisi geografis ini memiliki pengaruh besar terhadap sejarah Papua. Selama periode penumpasan militer pada 1969, kondisi masyarakat Papua yang saling terisolasi menguntungkan Indonesia dalam mengamankan referendum untuk mencaplok Papua. Tetapi, sampai hari ini pun wilayah pegunungan Papua tidak memiliki konektivitas internet yang layak. Kondisi ini disebut-sebut sebagai upaya militer Indonesia mengendalikan informasi dan menghalangi segala bentuk pergerakan yang terstruktur dan dapat menyebar luas. Hingga saat ini, pemerintah pusat di Jakarta sepenuhnya memegang kendali atas jaringan internet dan telepon di Papua. Ketika enam demonstran Papua ditembak dan dibunuh oleh pasukan keamanan di pegunungan Distrik Deiyai pada Agustus 2019 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir akses internet dan saluran telepon, membuat wartawan tidak dapat menghubungi sumber atau menyampaikan berita.

Sebagai seorang mahasiswa, Benny melanggar aturan dan melampaui hambatan informasi melalui membaca dengan penuh semangat. Perlahan, ia tiba pada kesimpulan mengapa militer Indonesia membom desanya dan membunuh anggota keluarganya: “Alasannya adalah karena Indonesia secara ilegal menduduki negara kita,” tegasnya. Ia menyebut referendum 1969 sebagai “tindakan memilih tanpa pilihan”, mempertanyakan bagaimana referendum itu dapat sah ketika, dari hampir jutaan orang, hanya 1.026 warga yang dipilih—dan itu pun di bawah tekanan besar.

“Memilih Tanpa Pilihan”

Hingga 1960, Papua perlahan tapi pasti tengah melalui proses dekolonisasi. Wilayah ini sebelumnya diduduki oleh Belanda sebagai bagian dari Hindia Belanda, dan tetap terpisah dari kepulauan Indonesia lain bahkan pasca deklarasi kemerdekaan 1945. Hal ini disebabkan pihak Belanda sendiri percaya bahwa orang Papua Barat berbeda dari penduduk Hindia Belanda lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh sebuah makalah penelitian Kongres AS tahun 2007, “Banyak orang Papua memiliki rasa identitas yang berbeda dari identitas utama […] dari kepulauan Indonesia lainnya, dan banyak yang memilih otonomi atau kemerdekaan dari Indonesia.”

Rencana dekolonisasi diperkenalkan pertama kali oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Dr. Joseph Luns, pada 1960, di tengah-tengah eskalasi konflik antara Belanda dan Indonesia. Namun, Indonesia tidak senang dengan usulan kemerdekaan untuk Papua. Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Operasi Tri Komando Rakyat (TRIKORA)—yang pada dasarnya merupakan seruan untuk menganeksasi wilayah Papua secara paksa. Kala itu, operasi Indonesia didukung oleh negara sekutu terdekatnya: Uni Soviet.

Khawatir akan dimulainya persekutuan antara Indonesia dan Uni Soviet, Amerika Serikat berusaha mempertahankan pengaruhnya di negara Asia Tenggara terbesar tersebut. Langkah yang dipilih AS adalah dengan memprakarsai Perjanjian New York antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda menyangkut Papua Nugini (sebagaimana Papua pada waktu itu disebut). Dalam dokumen itu, tertulis jaminan bahwa orang Papua diizinkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)—dalam kata lain, referendum untuk menentukan status politik mereka sendiri. Ketika referendum akhirnya berlangsung, tampuk kepemimpinan Indonesia di Jakarta telah beralih ke Presiden Soeharto. Sementara itu, di seberang lautan, sejumlah kecil orang Papua diduga tengah dipaksa untuk memilih menjadi bagian dari Indonesia.
Bintang Kejora di Oxford
Victor Mambor, seorang jurnalis senior di Papua dan mantan pemimpin redaksi Tabloid Jubi, surat kabar terkemuka di wilayah itu, mengatakan kepada New Naratif bahwa ada berbagai upaya untuk menutup-nutupi ihwal referendum, atau setidaknya membatasi pengetahuan tentang peristiwa tersebut. Periode Orde Baru Soeharto merupakan masa-masa yang berbahaya bagi jurnalis di Indonesia—terlebih jurnalis yang menulis tentang referendum Papua, dan karenanya persoalan ini sulit diangkat ke publik. Walau memang ada sejumlah wacana yang mempersoalkan referendum Papua baik dalam skala domestik maupun internasional, jumlahnya hanya segelintir.

Pada akhirnya, tidak ada kemenangan yang bertahan lama. Pada Mei 1998, Presiden Soeharto sukses digulingkan aliansi masyarakat sipil. Tak lama berselang, wilayah lain yang diperebutkan Indonesia, Timor-Leste, memilih merdeka pada 1999. Langkah Timor Leste rupanya menghasilkan efek domino: pada 2000, ribuan orang Papua mengadakan dan menghadiri kongres untuk menuntut penentuan nasib sendiri.

“Saat itu…informasi pertama kalinya tentang PEPERA dibuka. Semakin banyak orang datang; semakin banyak informasi yang kami terima tentang peristiwa tersebut,” jelas Mambor. Kongres ini diliput oleh banyak wartawan asing, yang mulai menulis tentang isu-isu yang berkaitan dengan referendum, serta tuntutan orang Papua.

Menjelma sebagai Aktivis

Sepanjang wawancara dengan New Naratif, Benny Wenda berulang kali menekankan bahwa, “Saya tidak membenci orang Indonesia. Kami belajar bersama. Kami makan makanan yang sama.” Keluhannya, ia tegaskan, hanya didasari pada situasi politik yang tidak adil bagi bangsanya.

“Ini adalah masalah kemanusiaan. Ini bukan tentang Benny Wenda yang berjuang untuk dirinya sendiri. Beginilah cara setiap manusia hidup dalam harmoni dan damai…harmoni untuk semua orang. Karena kita berbagi satu planet. Kita ini seperti komunitas,” katanya.

Saat masih di universitas, Benny memprakarsai kelompok diskusi untuk mahasiswa Papua—dari segala usia dan dari semua suku, baik dari pegunungan maupun wilayah pesisir—untuk berkumpul dan berbincang mengenai makna menjadi orang Papua. Di atas semua itu, ia ingin mengubah pola pikir anak-anak Papua, yang telah dibesarkan dan diberi tahu bahwa mereka primitif, bodoh dan kotor, dan mengajarkan kepada mereka bahwa untuk berbangga akan identitasnya sendiri.

Saat menjadi seorang aktivis, tujuan Benny ada dua. Pertama, untuk membawa perdamaian bagi orang Papua; dan kedua, untuk membawa kemerdekaan ke Papua. Ia menolak segala bentuk balas dendam maupun kekerasan, dan berkomitmen untuk berkampanye secara damai karena percaya cara tersebut akan menarik perhatian khalayak lebih luas terhadap perjuangan orang Papua.

Rupanya, hal ini juga merupakan langkah politik yang cerdik: orang Papua tidak memiliki kemampuan militer yang memadai untuk melawan tentara Indonesia, sementara dukungan politik dari pemerintah asing untuk perjuangan kemerdekaan Papua masih minim. Upaya manapun yang dianggap memiliki tujuan serupa dengan perlawanan gerilya Timor-Leste kemungkinan akan disikapi dengan tindakan kekerasan masif. Sementara itu, alasan Indonesia dalam membenarkan tindak kekerasan pada dunia internasional masih bergantung pada dalih yang sama: mengatasi aksi terorisme domestik.

Dengan kata lain, apabila orang Papua menerapkan perlawanan fisik, kemungkinan yang akan terjadi berikutnya adalah komunitas internasional akan diam-diam memalingkan muka, sementara orang-orang Papua mati dibunuh. Dengan memfokuskan gerakannya pada jalur anti-kekerasan, Benny memilih untuk mengikuti jejak Gandhi dan Martin Luther King.

Untuk mencapai tujuannya, Benny Wenda juga berusaha mengubah pandangan dan kesan orang Indonesia tentang Papua dan rakyatnya. Sikap dasar orang Indonesia terhadap kondisi Papua adalah apatisme terhadap pendudukan Indonesia di wilayah tersebut. Yang Benny ingin lakukan adalah memenangkan persahabatan dan pengertian orang Indonesia, dan membuat sekutu dengan mereka. Gerakan yang ia usung sangat aktif di ranah daring—terutama media sosial—dan berupaya untuk menambal celah informasi dan pengetahuan mengenai penderitaan rakyat Papua.

Ketika rezim Orde Baru tumbang pada 1998, sebuah peluang akhirnya terbuka bagi pendukung gerakan kemerdekaan Papua. Penggulingan pemerintahan Soeharto menghidupkan kembali bara gerakan kemerdekaan di beberapa wilayah Indonesia seperti Aceh dan Timor-Leste. Setelah 32 tahun, orang-orang di Papua Barat kembali menyerukan “Kemerdekaan untuk Papua!” di jalanan. Anak-anak muda Papua—yang sebelumnya telah menyatakan protes agar demokrasi ditegakkan—kini secara terbuka menyerukan tuntutan kemerdekaan penuh. Mereka semua berbagi euforia dari apa yang mereka sebut sebagai “Kebangkitan Bangsa Papua”.

Aprila Wayar, seorang novelis dan jurnalis asal Papua, sedang menjalani tahun pertama kuliah ketika rezim Soeharto jatuh. Ia menceritakan kepada New Naratif bagaimana para mahasiswa Papua—baik mereka yang berkuliah di dalam maupun di luar Papua—mulai berorganisasi dalam periode yang relatif lebih terbuka itu. Salah satu organisasi yang menjelma sebagai dasar gerakan pemuda Papua adalah Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang diprakarsai para mahasiswa di luar pulau. Pada Agustus 2018, AMP merupakan salah satu organisasi yang memimpin demo di seluruh Indonesia, memprotes dugaan tindakan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya.

Nama Benny Wenda belum terkenal saat itu. “Pada waktu itu, kami belum akrab dengan nama Benny Wenda, atau organisasi di mana ia berafiliasi,” kata Aprila. Sebaliknya, ia menyebutkan nama-nama seperti Theys Eluay, Thaha Al Hamid, Thomas Wanggai, dan John Mambor sebagai para pemimpin yang terkenal di kalangan mahasiswa Papua pada 1998.

Danny, yang tetap akrab dengan Benny setelah mereka lulus sekolah kejuruan, mengaku bahwa temannya itu tak pernah membahas masalah politik selama masa-masa pergolakan setelah Soeharto lengser. “Saya tidak punya cukup informasi [tentang kegiatannya], karena ia hanya datang ke asrama saya, kemudian tidur-tiduran sambil mendengarkan UB40 dan Bob Marley,” kata Danny. Rupanya, Benny bungkam mengenai aktivismenya. Danny baru mengetahui belakangan bahwa Benny aktif dalam sebuah organisasi yang bekerja untuk suku-suku di pegunungan, dan temannya itu dipenjara setelah bergabung dengan aksi damai sekitar tahun 2000–2002.

“Saya tahu [ia ditangkap] dari Cendrawasih Post (koran lokal). Ada nama Benny, tetapi saya ragu apakah itu Benny teman saya atau bukan, karena ada banyak orang Papua bernama Benny. Saya kaget ketika tahu itu dia, ” kenang Danny.
Bintang Kejora di Oxford
Organisasi tempat Benny berkecimpung bernama Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (atau Demmak), dimana ia terpilih sebagai pemimpin eksekutif pada 2000. Majelis ini berkampanye untuk melindungi adat istiadat, nilai-nilai, dan kepercayaan masyarakat di suku-suku di pegunungan, dan merupakan organisasi payung bagi beberapa suku dari pegunungan tengah dan selatan Papua—Lani, Mee, Amungme, Komoro, Yali, Damal, dan Moni—bersama dengan sub-suku lain seperti Nggem, Walak, Hubla, Kimyal, Momuna, serta Ngalik. Demmak turut bekerja sama dengan Dewan Presidium Papua (PDP) yang kemudian dipimpin oleh Theys Eluay, aktivis Papua paling disegani saat itu.

Theys Eluay sebelumnya memimpin delegasi yang beranggotakan sedikitnya 100 orang Papua untuk bertemu Presiden BJ Habibie di Jakarta. Karena Habibie baru saja memberi Timor-Leste hak untuk mengadakan referendum kemerdekaan, Theys berusaha untuk menegosiasikan peluang yang sama untuk Papua. Namun, pembicaraan itu tak membuahkan hasil. Habibie justru meluncurkan program otonomi khusus, yang seolah-olah menunjukkan kepercayaan pemerintah pusat untuk menyerahkan kuasa pemerintahan—yang sangat terbatas—kepada orang Papua.

Benny bersikeras menentang program itu, yang menurutnya tidak cukup untuk menjawab tuntutan orang Papua dan perjuangan mereka untuk kemerdekaan—sebuah perjuangan yang membuat banyak orang kehilangan nyawa mereka. “Saya tidak akan pernah kompromi pada tawaran [otonomi khusus, yang diharapkan akan diperpanjang pada 2021] dari Jakarta. Itu sebabnya Indonesia tidak menyukai saya,” katanya.

Simak juga: TRWP Menolak Tegas Ajakan Dialog Dipromosikan Oleh Agen Papindo JDP Bersama Intelektual BIN di LIPI

Benny terus menolak tawaran dialog yang datang, termasuk dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), biro penelitian negara yang bekerja di Papua dan daerah lainnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia lebih suka berdialog menggunakan LIPI, yang kerap dipercaya untuk memberi rekomendasi terkait Papua. Benny melihat skema ini sangat membatasi. Sebabnya, metode dialog dengan lembaga macam LIPI cenderung tidak melibatkan perwakilan dari berbagai sisi masyarakat Papua seperti gereja, pemimpin adat, dan Majelis Rakyat Papua. Tanpa komposisi perwakilan yang adil, Benny percaya bahwa dialog akan sulit untuk sampai pada kesimpulan yang berarti—apalagi mendapat dukungan politik yang cukup.

Alih-alih, Benny fokus pada satu proposisi: membiarkan rakyat Papua memilih jalan mereka sendiri melalui referendum. Ia mengatakan pada New Naratif bahwa ia akan menghormati hasil pemungutan suara yang berlangsung dengan bebas dan adil, meskipun hasilnya tidak sejalan dengan keyakinan politiknya sendiri. “Jika [orang-orang Papua] ingin tetap menjadi bagian Indonesia, itu sah-sah saja,” katanya. Namun, orang Papua harus memilih secara independen, bebas dari gangguan atau intimidasi.

Ia terjebak pada posisi ini selama bertahun-tahun. Pada Oktober 2019, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana untuk berdialog dengannya dan ULMWP. Meski demikian, Benny menyatakan kepada media bahwa ia hanya akan berpartisipasi jika sejumlah persyaratan dipenuhi. Pertama, ia mengajukan bahwa pertemuan itu harus melibatkan kelompok perwakilan Papua yang majemuk, bukan hanya ia dan organisasinya. Ia juga meminta agar akses ke Papua diberikan kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, media internasional, dan LSM lainnya. Terakhir, ia mendesak penarikan 16.000 pasukan keamanan yang dikerahkan ke Papua sejak Agustus 2019, dan pembebasan para tahanan politik.

“Agar kita percaya bahwa segalanya telah berubah, Indonesia harus menunjukkan itikad baik dan menyetujui kondisi kita. Keinginan kita adalah untuk mencapai referendum yang demokratis, untuk menegakkan hak kita untuk mandiri,” jelasnya kepada media.

Pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid alias “Gus Dur” yang baru terpilih memberi harapan baru bagi orang Papua. Gus Dur dikenal lebih toleran terhadap isu politik ketimbang para pendahulunya. Di bawah kepemimpinannya, orang Papua untuk pertama kalinya bebas mengibarkan bendera mereka sendiri, Bintang Kejora, simbol identitas politik dan budaya Papua. Sayangnya, pemerintahan Gus Dur berumur pendek; ia dilengserkan pada 2001, dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, anak Presiden Soekarno.

“Ia adalah pria yang damai. Ia adalah orang yang benar. Saya pikir Ia adalah simbol perdamaian dan keadilan,” kata Benny, merefleksikan keprihatinannya tentang singkatnya masa kepemimpinan Gus Dur.

Megawati menegaskan kembali kedaulatan Indonesia atas Papua, mengutuk gerakan kemerdekaan, dan menindak tegas “para separatis”. Pada November 2001, Theys Eluay, pemimpin PDP, dibunuh oleh militer. Ada kekhawatiran bahwa aktivis Papua lainnya, termasuk Benny, berada dalam bahaya. Tetapi ia menolak untuk berkompromi dan tetap berpegang pada posisi politik Demmak: kemerdekaan penuh dari Indonesia.

Pelarian dari Penjara

Pada 6 Juni 2002, Benny ditangkap di Jayapura. Rumahnya digeledah tanpa surat perintah, dan polisi menolak memberikan informasi tentang dakwaan yang diajukan kepadanya. Ia disiksa di tahanan polisi dan ditahan di sel isolasi selama beberapa bulan. Pada akhirnya, ia dituduh sebagai dalang di balik serangan terhadap kantor polisi di Abepura pada 2000. Padahal, ia bahkan tidak ada di tempat itu saat perencanaan dan pelaksanaan serangan dilakukan. Meski demikian, ia dituntut 25 tahun penjara.

Pengadilan Benny dimulai pada 24 September 2002 dan berlangsung selama beberapa minggu. Polisi bersenjata mengepung ruang sidang setiap hari, mengawasi banyak pendukungnya. Menurut biografi di situs webnya, terdapat sejumlah penyimpangan sepanjang proses pengadilan tersebut. Baik penuntut dan hakim disebut meminta suap kepada tim pembela Benny, yang mereka tolak mentah-mentah. Ada pula masalah dalam mengidentifikasi saksi penuntut utama dan memastikan bahwa mereka akan bersaksi di pengadilan. Semua hal ini membuat Benny ragu bahwa ia akan diadili dengan jujur.

Selama di penjara, Benny kerap diserang secara fisik oleh para sipir dan diancam oleh sang kepala penjara, Sudarsono. Ia menjelaskan bahwa bukti di persidangan untuk menghukumnya kurang kuat, dan setelah itu muncul desas-desus bahwa intelijen militer akan membunuhnya di penjara sebelum persidangan mencapai vonis. Atas saran pengacaranya, ia tidak memakan makanan yang disediakan di penjara karena risiko keracunan; selain itu, ia juga terancam akan mengalami kekerasan dari tahanan lain. Di titik ini, Benny tahu bahwa ia akan dibunuh kalau bertahan. Ia harus melarikan diri.

Pada bagian ini, cerita Benny menjadi kabur. Ia tidak banyak bicara tentang bagaimana ia berhasil melarikan diri. Sebaliknya, yang ia tekankan adalah bahwa, saat ia pergi, ia membuat janji:

“Saya katakan, jika saya berhasil melarikan diri, saya akan membawa pesan itu…saya akan memberitahu dunia bahwa orang-orang saya ingin bebas. Itu janji saya. Saya akan memberi tahu orang-orang saya bahwa saya meninggalkan Anda dengan air mata, tetapi suatu hari saya akan kembali kepada Anda dengan senyum. Itu janji saya. “
Bintang Kejora di Oxford
Beralih lagi ke biografinya, Benny menyatakan bahwa ia kabur dari penjara Abepura pada 27 Oktober 2002. Polisi Indonesia diduga telah mengeluarkan perintah tembak-menembak. Namun, Benny berhasil diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini, kemudian dibantu oleh kelompok LSM Eropa untuk terbang ke Inggris dan memperoleh suaka politik. Pada 2003, Benny dan istrinya Maria kembali dipersatukan di Inggris, di mana mereka sekarang tinggal bersama kelima anak mereka.

Ia tetap menjadi salah satu orang yang paling dicari di Indonesia hingga hari ini. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menghalangi pekerjaannya, seperti mengeluarkan surat perintah penangkapan melalui Interpol (polisi internasional) pada 2011. Surat perintah itu dicabut pada 2012 setelah naik banding.

Tetapi, perselisihan Benny dan pemerintah Indonesia terus memburuk. Baru-baru ini, Benny kembali menjadi tajuk berita utama setelah Menkopolhukam Wiranto menuduhnya sebagai dalang demonstrasi yang terjadi di seluruh wilayah Papua. Benny menanggapi tuduhan ini dengan menyatakan bahwa Wiranto sendiri adalah penjahat perang yang telah dinyatakan oleh PBB maupun investigasi dalam negeri sebagai berperan dalam memfasilitasi pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara Indonesia dan milisi pro-pemerintah di Timor-Leste.

Membangun Gerakan

Setelah memperoleh status pengungsi di Inggris, Benny segera mendirikan barisan Kampanye Papua Merdeka dengan tujuan menyebarkan kabar pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan menggalang dukungan untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Ia terus-menerus bepergian ke seluruh Inggris dan daratan Eropa untuk menyoroti nasib bangsanya. “Dari sini di Oxford, saya melakukan perjalanan ke seluruh negara ini, untuk menceritakan kisah saya kepada mereka, bersama istri saya dan memainkan musik [Papua],” katanya.

Ketika ia memulai kampanye, seorang teman berkomentar tentang tujuan Benny yang tampak mustahil tercapai: “Benny, kasusmu [melawan] sebuah negara besar. Bagaimana Anda bisa mengubah pola pikir negara sebesar ini?”

Benny tak gentar. Yang ia tahu, ia harus memulai, entah dari mana. Sementara itu, dukungan pun tumbuh perlahan selama bertahun-tahun, baik dari Inggris maupun negara lainnya. Saat ini, Kampanye Papua Merdeka telah memiliki cabang dan organisasi pendukung di Eropa, Amerika Serikat, Australia, Kepulauan Pasifik, Filipina, dan Afrika, yang dibangun melalui jaringan eksil Papua dan sekutu mereka.
Bintang Kejora di Oxford
Ia juga berpartisipasi dalam berbagai inisiatif lain. Pada Oktober 2008, ia meluncurkan Anggota Parlemen Internasional untuk Papua di House of Commons di London, bersama Lord Harries dari Pentregarth dan Anggota Parlemen untuk Oxford saat itu, Andrew Smith. Kelompok ini berfokus pada pengembangan dukungan untuk Papua di kalangan anggota parlemen di seluruh dunia, dengan harapan suatu hari dapat mencapai dukungan di tingkat PBB untuk kemerdekaan Papua.

Pada 2014, Benny dan aktivis pro-kemerdekaan lainnya memprakarsai Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua (ULMWP), organisasi yang ia pimpin hari ini. ULMWP menyatukan tiga organisasi politik utama—Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat (NPWP)—di bawah satu payung besar.

“Kami memiliki lawan yang sama, yaitu Indonesia. Kami ingin menunjukkan kepada pemerintah Indonesia dan orang luar bahwa kami bersatu. Kami hanya ingin mengadakan referendum secara damai,” Benny menjelaskan tujuan organisasinya. Sebagian besar fokus ULMWP adalah melobi kelompok-kelompok internasional dan pemerintah guna mencari dukungan untuk perjuangan Papua.

Meski demikian, menyebut bahwa Gerakan Papua Merdeka merupakan organisasi dengan komando terpusat, kompak, dan tidak memiliki antagonisme internal juga penyederhanaan yang salah kaprah. Seperti banyak organisasi lain, ULMWP juga memiliki kompleksitasnya sendiri; anggotanya terbagi oleh perbedaan pendapat atas dasar etnis, regional, pribadi, dan strategis.

Pembentukan ULMWP memang merupakan terobosan besar, yang didorong oleh keinginan bersama untuk pengakuan—dan akhirnya menjadi anggota Kelompok Pelopor Melanesia. Namun, gerakan ini juga masih banyak kekurangan, terutama persoalan koordinasi. Unit-unit bersenjata mereka terpisah satu sama lainnya dan menduduki wilayah yang berbeda. Kontrol teritorial mereka terbatas, sementara tak ada orang yang berperan sebagai komandan tunggal. Selain itu, berbagai kelompok politik hampir tidak pernah mensinergikan tujuan mereka bersama. Umumnya, kelompok-kelompok ini terbagi antara mereka yang mendukung pendekatan lebih agresif—memancing kekerasan pasukan keamanan dan berharap bahwa kemarahan internasional atas pelanggaran HAM akan mendorong intervensi (seperti yang terjadi di Timor-Leste)—dan mereka yang lebih memilih untuk bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia dan ditengahi oleh pihak ketiga dari komunitas internasional (seperti halnya Aceh). Konteks perundingan di Aceh yang akhirnya menghasilkan perjanjian damai pada 2005 dan berhasil mengakhiri pemberontakan tiga dekade sangat berbeda dengan situasi di Papua; hal ini membuat tercapainya kata sepakat dengan Indonesia melalui mediator luar nyaris tidak mungkin. Sebagai Ketua ULMWP, Benny berusaha untuk tidak memihak dan berkompromi dengan semua pendekatan tersebut.
Bintang Kejora di Oxford
Terobosan positif lain terjadi pada 2017, ketika para aktivis pro-kemerdekaan mempertaruhkan diri ditangkap dan dipenjara karena mengumpulkan 1,8 juta tanda tangan (meliputi 70,88% penduduk asli Papua) untuk sebuah petisi yang menuntut penentuan nasib sendiri. Walau sempat dihalang-halangi, mereka akhirnya berhasil menyerahkan petisi tersebut ke PBB pada Januari 2019, setelah Benny diizinkan bergabung bersama pertemuan delegasi Vanuatu dengan Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet. Indonesia jelas berang akan langkah ini, dan menuduh Vanuatu telah “mengambil langkah manipulatif”.

“Ini adalah kesalahan PBB. Anda (PBB) melanggar aturan Anda sendiri, Anda harus memperbaikinya,” katanya pada kami.

Seiring kabar tentang aktivisme dan perlakuan sewenang-wenang terhadap Benny diberitakan ke seluruh dunia, ia mulai populer di antara Orang Papua di Indonesia, dan lebih luas lagi, Asia Tenggara. Tiga mahasiswa Papua yang bergabung dalam protes menentang rasisme Agustus lalu mengatakan kepada New Naratif bahwa mereka melihat Benny Wenda sebagai panutan. Di Boven Digoel, di perbatasan antara Papua dan Papua Nugini, seorang ‘anak daerah’ mengatakan ia mendengar tentang apa yang dilakukan Benny di Inggris. Matanya berbinar ketika mendengar bahwa New Naratif baru saja bertemu dengan Benny di Oxford. “Kami mengikuti apa yang dilakukan Benny dari sini,” katanya.

“Hampir semua orang [di Papua] tahu siapa Benny Wenda,” kata mantan teman sekelasnya, Danny.

Akan tetapi, aktivisme Benny bukannya berlangsung tanpa perselisihan. Sementara Benny mendapat pujian dari orang-orang Papua, ia juga mendapat kritik keras dari aktivis pro-kemerdekaan lain. Pada Juli 2019, Benny mengumumkan bahwa tiga kelompok bersenjata—Tentara Revolusi Papua Barat (TRWP), Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) dan Nasional Papua Barat Tentara Pembebasan (TPNPB, kependekan dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat)—telah sepakat untuk berkoordinasi dengan ULMWP dan menjadi satu pasukan untuk mendorong kemerdekaan. Pernyataan ini dibantah oleh juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, yang menuduh Benny telah membajak gerakan pro-kemerdekaan dengan membuat klaim sepihak. “Ini adalah propaganda murahan oleh Benny Wenda dan Jacob Rumbiak yang ingin mencari legitimasi dari [kami], karena kami tidak mengakui ULMWP,” katanya kepada BBC.

Ironisnya, meski beberapa kubu Gerakan Papua Merdeka tidak mengakui kepemimpinan ULWMP, pemerintah Indonesia diam-diam tetap mengakui organisasi tersebut sebagai perwakilan gerakan kemerdekaan Papua yang paling dikenal khalayak luas. Hal ini membuat pemerintah Indonesia memfokuskan serangan dan kritik mereka terhadap Benny dan ULMWP (serangan verbal Wiranto terhadap Benny adalah buktinya) tapi juga menganggap mereka sebagai pihak paling strategis untuk diajak berdialog.

Baca ini: Perjalanan Benny Wenda dari Penjara Abepura ke Internasional dan Pimpin ULMWP

Victor Mambor mengatakan bahwa argumen antara aktivis pro-kemerdekaan adalah hal umum: sejak kematian Theys Eluay, belum ada pemimpin yang dapat menyatukan orang Papua. Tapi ia juga menekankan bahwa ini bukan masalah utama yang perlu dibahas, mengingat gerakan ini memiliki tujuan yang jauh lebih besar; orang-orang yang berbeda sebenarnya memainkan peran yang berbeda pula.

“Benny punya tugasnya sendiri untuk dilakukan,” tegas Mambor.

Tipisnya Harapan terhadap Jokowi

Di antara berbagai janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2014, salah satunya adalah menjamin kebebasan berekspresi dan berbicara orang Papua—seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Gus Dur. Banyak orang menunjukkan bahwa janji ini belum ditepati; sebaliknya, Jokowi tampaknya lebih fokus pada komitmen untuk mengembangkan infrastruktur di wilayah tersebut, yang konon bertujuan untuk memperkaya masyarakat Papua dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Benny skeptis dengan klaim Jokowi, terutama karena orang-orang Papua Barat sendiri tidak dapat berpendapat tentang bagaimana seharusnya pembangunan berlangsung di tanah mereka. “Anda bisa membawa pembangunan, [tetapi] pembangunan seharusnya sudah terjadi 30 tahun yang lalu. Jadi Anda tidak bisa membawa pembangunan di atas penderitaan lebih dari ratusan ribu yang sudah terbunuh, dan [di mana] sentimennya semakin keras.”

Ini bukan kali pertama Jokowi mengecewakan orang Papua: pada 2014, anak-anak di Kabupaten Paniai dibunuh oleh petugas gabungan polisi-militer. Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi pada akhirnya menyerahkan tanggung jawab kepada Wiranto. Investigasi tersebut dilakukan tanpa transparansi, dan pada akhirnya negara pun meninggalkan keluarga korban tanpa jawaban maupun keadilan.

Benny berharap bahwa terpilihnya kembali Jokowi pada 2019 akan menempatkan sang Presiden dalam posisi politik yang lebih aman untuk memenuhi janjinya. Hal ini, sayangnya, nyaris mustahil terjadi mengingat Jokowi justru semakin akrab dengan pihak militer. Ketika Jokowi baru-baru ini mengunjungi Papua setelah terpilih kembali, ia bungkam mengenai kematian orang Papua dalam kerusuhan yang terjadi belum lama lalu.

Di ranah internasional pun, perjuangan ULMWP menemui tantangan baru. Belum lama ini, Indonesia meluncurkan Badan Pembangunan Internasional, yang bertujuan menangguhkan hubungan diplomatik melalui pemberian bantuan. Prioritasnya: negara-negara Pasifik. Publik pun menyorot langkah ini sebagai salah satu taktik melobi negara-negara yang selama ini ini bersimpati pada gerakan Papua Merdeka. Dalam dunia penuh kesepakatan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh elit penguasa, langkah semacam ini akan menjadi masalah lain harus disiasati para aktivis.Hingga saat ini, Benny Wenda tidak yakin apakah ia dapat kembali ke Papua yang telah bebas. Tetapi ia senantiasa hidup dengan harapan: “Suatu hari, seorang pemimpin muda yang cerdas dan generasi baru Indonesia, [akan] keluar. Mereka akan mengerti…suatu hari, mereka akan berubah. Suatu hari, mereka akan mengakui apa yang mereka lakukan.”

References
  • [1] Pirime was part of Jayawijaya regency until 2008. Under the special autonomy law, the village was transferred to the administration of Lanny Jaya regency.
  • [2] Allard K. Lowenstein International Human Rights Clinic, Yale Law School, Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control, page 24 (April 2008).
  • [3] Dirk Vlasblom, Papoea: Een Geschiedenis (Mets & Schilt, 2004), p. 537.

Penulis Thum Ping Tjin, Febriana Firdaus
Ilustrator Hasbi Ilman


Posted by: Admin
Copyright ©New Naratif "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Subscribe to receive free email updates: