Pertemuan Menteri Luar Negeri negara-negara anggota Forum Kepulauan Pasifik di Fiji, 26 Juli 2019. (Foto: Pacific Islands Forum Secretariat) |
“Apresiasi dan ucapan terima kasih atas semua dukungan dan keprihatinan bersama rakyat, para pemimpin gereja, adat, anggota parlemen dan pemerintah atas situasi pelanggaran hak asasi manusia di West Papua. Perjuangan kami menuntut hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua,” ungkap Markus Haluk di Jayapura, Senin (29/07/2019).
Sebelumnya, pemimpin sidang PIF pada Jumat (26/7/2019), David Adeang menyatakan PIF merekomendasikan masalah pelanggaran hak asasi manusia di Papua menjadi salah satu agenda pertemuan para kepala negara Kepulauan Pasifik yang akan berlangsung di Tuvalu pada 13-16 Agustus 2019 mendatang. Hal itu disampaikan Adeang dalam siaran pers yang diterima Jubi pada Sabtu (27/7/2019).
“Isu-isu kunci yang dipertimbangkan sebagai rekomendasi dan prioritas untuk para pemimpin adalah advokasi perubahan iklim, keamanan regional, tata kelola laut, dan pelanggaran HAM di West Papua,” ungkap David Adeang dalam siaran persnya.
Haluk menyatakan kemunculan isu pelanggaran HAM dalam PIF bukanlah hasil dari sebuah propaganda. Isu pelanggaran HAM berulangkali muncul dalam PIF karena kasus pelanggaran HAM baru terus terjadi di Papua, dan secara sistematis memarjinalisasi orang asli Papua, serta membatasi kebebasan orang asli Papua. Menurutnya, perhatian negara-negara Pasifik muncul bukan disebabkan satu atau dua kasus pelanggaran HAM di Papua, melainkan muncul karena rangkaian panjang kekerasan fisik dan mental yang dialami orang asli Papua selama 56 tahun.
(Baca ini: Pertemuan Menlu PIF di Fiji, West Papua Masuk dalam "Isu Kunci")
Haluk mencontohkan krisis kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Nduga, Papua, ketika ribuan warga sipil Nduga mengungsi untuk menghindari operasi gabungan TNI/Polri mengejar kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Krisis kemanusiaan di Nduga itu menjadi fakta terbaru bagaimana rakyat Papua hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dan terus berada dalam pusaran kekerasan.
“Adalah benar, terus terjadi pembungkaman ruang kebebasan dan demokrasi, HAM. Rakyat Papua terus terbungkam, tersisih di atas ranah leluhur mereka sendiri,”ungkapnya.
Menurut Haluk, pada masa Orde Baru, kekerasan Negara terjadi di Papua, Aceh, dan Timor Leste. Pasca referendum 1999 yang memerdekakan Timor Leste serta Perjanjian Helsinki 2005 yang mengakhiri Gerakan Aceh Merdeka, Papua menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang secara terus menerus mengalami kekerasan Negara dan konflik.
Haluk juga menyebut keberhasilan Bougainville dan New Caledonia memastikan pelaksanaan penentuan nasib sendiri membuat Papua menjadi satu-satunya kawasan di Pasifik yang masih harus berjuang menuntut hak penentuan nasib sendiri. Bougainville akan menggelar referendum untuk menentukan nasib sendiri pada November 2019, sementara New Caledonia akan menjalankan referendum pada 2020.
“Jadi West Papua adalah satu-satunya wilayah yang menjadi fokus perhatian oleh rakyat, pemimpin Indonesia, regional Melanesia, para pemimpin ASEAN, serta dunia internasional,”ungkapnya.
Markus Haluk menyatakan pemerintah maupun rakyat Indonesia tidak perlu risau atau khawatir dengan perjuangan politik bangsa Papua. Haluk menyatakan rakyat dan pemerintah Indonesia sebaiknya berfikir positif menanggapi perjuangan rakyat Papua. “Sudah waktunya pemerintah maupun rakyat Indonesia untuk terbuka mengakui perjuangan luhur bangsa Papua,”ungkapnya.
Haluk meyakini, jika perjuangan rakyat Papua menuntut penentuan nasib sendiri dipenuhi, hubungan antara Indonesia dan Papua tetap akan berjalan sebagai hubungan bermartabat di antara dua bangsa merdeka. Ia mencontohkan hubungan baik Indonesia dan Timor Leste tetap terjalin pasca referendum 1999.
“Rakyat Papua dan rakyat Indonesia di mana pun, mari mendukungan pemimpin ULMWP, para pemimpin Melanesia, dan para pemimpin negara Pasifik untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua, serta pengakuan atas berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua,”ungkapnya.
Ketua Dewan Adat Papua, Dominikus Surabut mengatakan isu pelanggaran HAM di Papua akan terus dibicarakan para pemimpin negara Pasifik, sepanjang Indonesia tidak melakukan upaya serius untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM itu, dan tidak berupaya keras mencegah pelanggaran HAM baru terjadi di Papua.
“Dunia kini berbeda dengan dunia masa lalu. Dengan apa menyembunyikan kesalahannya? Ini zaman teknologi tinggi, . Karena itu, Indonesia tidak perlu membuang energi dan anggaran untuk meredam semakin kuatnya isu Papua di Pasifik. Lebih baik mendukung perjuangan rakyat Papua, daripada terus menerus dipermalukan di forum-forum regional dan internasional,”tegasnya.(*)
Copyright ©Jubi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com