Theys Hiyo Eluay - Foto: dok. Jubi. |
Kala itu, pihak keluarga yang diwakili Yanto Eluay mengampuni pelaku dan meminta siapa pun, tidak menjadikan kasus yang menimpa bapaknya sebagai komoditas politik.
Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey, mengatakan pihak keluarga mesti diingatkan, saat diculik dan dibunuh, Theys Eluay bukan dalam posisi sebagai pribadi, tetapi pimpinan masyarakat adat, pimpinan politik orang Papua. Dalam mekanisme Dewan HAM PBB, posisi masyarakat adat diakui, dan ketika itu Theys dalam posisi pimpinan masyarakat adat Papua.
“Tapi bahwa keluarga telah memberikan maaf, itu harus dilihat sebagai cara (keluarga) menyindir negara,” ujar Ramandey, kepada Jubi, Minggu, 11 November 2018.
Ramandey berpendapat memafkan pelaku merupakan sesuatu hal yang tidak biasa. Dalam teori kriminal, orang bisa memberi maaf setelah para pelaku kejahatan menyampaikan permohonan maaf, dan dalam proses pengadilan di Indonesia. Permohonan maaf bertujuan meringankan hukuman pelaku kejahatan. Namun, dalam kasus Theys, pemberian maaf keluarga mendahului permintaan maaf pelaku.
“Kasarnya keluarga menyindir negara dan TNI dengan cara mereka sendiri. Sudah 17 tahun kasus Theys dan keluarga baru dapat putusan setelah 11 tahun. Kalau keluarga berinisiatif memberikan maaf, ini dilihat sebagai penyesalan keluarga kepada negara,” katanya.
Untuk itu, negara melalui Presiden perlu dan segera merespons pemberian maaf keluarga dengan memerintahkan Panglima TNI (Mabes TNI) dan Menkopolhukam untuk menyampaikan permohonan maaaf. Jika tidak, pemberian maaf keluarga bisa menginternasionalisasi kasus Theys kembali dan akan mengundang respons masyarakat internasional.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, katanya, pemberian restitusi, kompensasi setelah ada putusan pengadilan inkrah dalam hal ini pengadilan HAM. Tapi keluarga tidak lagi mendapatkan itu, karena harus pengadilan telah memutuskan sejumlah orang itu bersalah dan dipecat.
Hak Asasi Manusia berlaku secara universal dan tercantum dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Pancasila, dan UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
Menurut Pasal 1 Angka 6 Nomor 39 Tahun 1999, pelanggaran HAM merupakan setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja, maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM menyebutkan, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan, baik dilakukan oleh individu, maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya
Kasus Theys, katanya, tak bisa dipisahkan dengan kasus Aristoteles Masoka. Dua kasus ini masuk kategori pelanggaran HAM. Theys diculik kemudian dibunuh, sedangkan jejak Aristoteles tak ditemukan hingga kini.
Pemberian maaf keluarga Theys tak berarti menggugurkan posisi Aristoteles Masoka dalam kasus ini. “Dalam kasus Theys dan Aristoteles itu memenuhi unsur. Ada rencana, kemudian ada perintah. Kenapa Komnas HAM belum menuntaskan ini? Karena TNI sudah menyelesaikan dengan mekanisme peradilan militer. Tapi unsurnya terpenuhi. Ada perencanaan dan ada komando.”
Menurut Ramandey, dapat dimengerti jika keluarga tidak memahami Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM—dalam pasal 1 ayat 6 disebutkan, pelanggaran HAM adalah perbuatan seseorang, sekelompok orang dan aparat negara.
“Karena itu kasus Theys tidak bisa menghilangkan kasus Aristoteles. Pemaafan keluarga harus dilihat sebagai sebuah itikad semacam menyindir negara dalam upaya penyelesaian kasus HAM dan kasus ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan,” ujarnya.
Di lain sisi, bapak kandung almarhum Aristoteles Masoka, Yonas Masoka, menyesalkan pihak keluarga Theys yang menggelar deklarasi damai tanpa sepengetahuannya. Pihak Masoka tidak dikoordinasi sebelumnya.
“Kasus ini satu paket, kejadian 17 tahun lalu Theys dan Aristoteles sama-sama dalam satu mobil,” kata Yonas Masoka di Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Sabtu, 10 November 2018.
Masoka mempersoalkan poin keempat dalam deklarasi itu. Poin itu menyebutkan, pembunuhan dan penculikan yang terjadi 17 tahun lalu tidak lagi disebut sebagai pelanggaran HAM. Masoka beranggapan, pernyataan ini mengandaikan keberadaan anak kandungnya sudah diketahui, padahal hingga kini sopir Theys itu belum diketahui.
Seperti diberitakan pasificpos.com berjudul “Keluarga Alm. Theys Eluay Mengampuni Negara Indonesia” dan ditayangkan Minggu, 11 November 2018, pukul 15:14, deklarasi itu memuat lima poin, di antaranya;
- Pertama, bahwa hidup manusia semuanya ada dalam tangan Tuhan Sang Pencipta dan kita manusia hanya menjalani kehendak-Nya, sehingga walaupun sedih dan duka kami alami dengan kepergian orangtua kami, namun seiring waktu dan dengan pertolongan Tuhan kami belajar menjadi kuat dan menerima kenyataan tersebut;
- Kedua, kami percaya orangtua kami almarhurm Ondofolo Theys Eluay adalah pejuang kemanusiaan, penjaga adat dan tradisi leluhur, serta memperjuangkan Papua agar makin sejahtera dalam semangat persaudaraan dan cinta kasih. Oleh karena itu, kami menolak politisasi kematian orangtua kami. Dan dengan tegas kami menyatakan Papua tidak boieh dipisahkan dari NKRI. Sebab almarhum adalah salah satu tokoh yang memperjuangakan Papua dalam bingkai NKRI dalam proses PEPERA tahun 1969, dan perjuangan alm. sesungguhnya hanya untuk kesejahteraan rakyat Papua dan sepanjang hal itu dapat diwujudkan maka NKRI harga mati;
- Ketiga, kami memaafkan dan mengampuni seluruh pihak atau pribadi yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam kematian almarhum orangtua kami Bapak Ondofolo Theys Hiyo Eluay;
- Keempat, kami minta agar penculikan dan pembunuhan orangtua kami tidak lagi dikatakan sebagai kasus pelanggaran HAM dan tidak lagi digunakan oleh pihak manapun sebagai komoditas politik;
- Kelima, kami berjanji untuk meneruskan perjuangan almarhum demi kesejahteraan rakyat Papua bersama seluruh elemen bangsa Indonesia yang mencintai Republik ini atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Masoka menduga deklarasi Sabtu lalu sebagai bagian dari komoditas politik.
“Ini tahun politik jadi, kita lihat saja apa yang akan terjadi setelah deklarasi damai tersebut,” katanya.
Anak kandung Theys Eluay, Yanto Eluay, ketika dikonfirmasi mengaku tak berkoordinasi dengan pihak Masoka tentang deklarasi damai. Pihaknya bahkan mempersilakan keluarga Masoka jika ingin berjuang terus.
“Kami hanya ingin melakukan sesuai dengan iman kepercayaan kami kepada Tuhan untuk memaafkan, serta memberikan keampunan kepada siapa saja yang terlibat dalam kejadian 17 tahun silam,” katanya.
“Selain itu, kami minta agar kejadian ini tidak lagi digunakan sebagai komoditas politik yang berlabel pelanggaran HAM,” lanjutnya.
Theys ditemukan tewas dalam mobil yang terperosok di jurang, Minggu, 11 November 2001, sehari setelah hilang. Sedangkan Aristoteles yang menyetir mobil Theys hingga kini belum diketahui keberadaannya.
(Baca ini: Keluarga Aris Masoka Sesalkan Deklarasi Keluarga Theys)
Majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya telah memvonis bersalah empat prajurit Kopassus yang menjadi terdakwa kasus Theys Hiyo Eluay. Mereka adalah bekas Komandan Satgas Tribuana X Letkol Inf. Hartomo, mantan Komandan Detasemen Markas I Mayor Inf. Doni Hutabarat, mantan Kepala Operasi Letnan Satu Inf. Agus Supriyanto, dan Prajurit Kepala Achmad Zulfahmi yang membekap mulut Theys sebanyak tiga kali. Tiga terdakwa lainnya, lain dijatuhi hukuman lebih ringan oleh majelis hakim yang diketuai Kolonel CHK. AM Yamini. Terdakwa Kapten Inf. Rinardo dan Sertu Asrial dihukum tiga tahun penjara, Sertu Lourensius dua tahun penjara. (*)
(Nonton video ini: Video: Seruan Kemerdekaan Papua dari Indonesia Tahun 2000)
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com