Penerimaan Praja IPDN Papua 90 Persen bukan OAP, Natalius Pigai: Diskriminasi!

Penerimaan Praja IPDN Papua 90 Persen bukan OAP, Natalius Pigai: Diskriminasi!
Ilustrasi Praja IPDN di Papua.
Jayapura -- Penerimaan praja IPDN di Provinsi Papua tahun ajaran 2018/2019 dinilai diskriminatif terhadap Orang Asli Papua (OAP). Praja tahun ini didominasi non OAP (bukan putera daerah Papua). Melenceng jauh Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus).

Kecaman ini disampaikan aktivis kemanusiaan, Natalius Pigai. "Ini diskriminasi bagi putera dan puteri Papua di negeri Bhineka Tunggal Ika. Dari 70 praja itu, yang OAP hanya empat orang. Ya, penerimaan Praja IPDN dari Papua 90 persen bukan putra daerah. Saya tersinggung dan mengecam keras pemerintahan Jokowi, saudara Mendagri, Tjahjo Kumolo," kata Natalius Pigai kepada Jubi lewat sambungan telepon, Sabtu, (31/8/2018).

(Baca: DPRP - MRP Minta Pengumuman Seleksi IPDN di Pending)

Menurut mantan Komisioner Komnas HAM ini, salah satu kekuatan perekat NKRI adalah distribusi kekuasaan yang merata di seluruh negeri, agar semua anak bangsa terwadahi dalam mesin perubahan. Supaya mereka merasa memiliki negeri ini.

"IPDN didirikan untuk memperkuat ketataprajaan birokrasi pemerintanan daerah sebagai wujud nyata otonomi berbasis lokal sesuai amanat pasal 18, UUD 1945 yaitu Indonesia yang terdiri dari pemerintah pusat dan daerah," katanya.

Dikatakan Pigai, dari hasil penerimaan akhir IPDN, dimana 90 persen yang diterima bukan OAP, maka itu artinya presiden dan Mendagri telah melecehkan bangsa pribumi Papua.

"Saya sayangkan kalian bisa lakukan diskriminasi akut, tanpa memertimbangkan kebijakan bagi putra dan putri Papua, untuk mengenyam pendidikan tata praja di sekolah terhormat di Kementerian Dalam Negeri yang kalian pimpin saat ini," ucapnya.

(Lihat ini: Mahasiswa Papua Menentang Program Tentara Masuk Sekolah)

Akibatnya, lanjut dia, jangan kalian kecewa kalau suatu saat mereka ini tidak dipakai sebagai kekuatan birokrasi di daerah.

"Sekali lagi sebagai mantan Komnas HAM saya ingatkan amanat konstitusi HAM bahwa negara tidak boleh melakukan diskriminasi dan segregasi atas dasar pertimbangan etnis, ras, golongan dan antar agama. Saya sangat tersinggung dengan pemerintahan yang diskriminatif, membiarkan rasialisme berkembang di negeri Pancasila ini,"nya.

"Saya minta Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak boleh memberi dukungan biaya pendidikan dengan membebani APBD yang dikumpulkan dengan keringat rakyat Papua sebagai konsekuensi atas keputusan Kementerian Dalam Negeri yang diskriminatif terhadap rakyat Papua asli," sambungnya.

Terpisah, dosen Hubungan Internasional Uncen, Marinus Yaung menambahkan, dirinya ragu dengan kualitas lulusan IPDN, apabila diibandingkan dengan kualitas anak didiknya dari jurusan Ilmu Pemerintahan, Ilmu Admintrasi, Administrasi Negara, Antropologi, ilmu Kesejahterahan Sosial dan Ilmu Hubungan Internasional.

Menurutnya, lulusan Uncen terbukti lebih berkualitas dan siap kerja di seluruh kabupaten di Provinsi Papua dibandingkan alumnus IPDN.

"Kerja-kerja teknis di lapangan dalam birokrasi Pemda kabupaten di posisi eselon III dan IV, alumnus Uncen jauh lebih menguasai dan sangat kompeten dibandingkan alumnus IPDN," ujar Yaung.

Bagi dia, IPDN cuma menang nama, status ikatan dinas dan kampus plat merah yang siswanya dapat uang saku. "Kalau mahasiswa Uncen juga dapat uang saku perbulan, memiliki ikatan dinas langsung dengan Pemda di seluruh Papua. Pasti IPDN kampus Papua tutup," tutupnya. (*)

(Lihat ini: Nasionalisme Papua di Bunuh Melalui Program Afirmasi dan Adem)


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Subscribe to receive free email updates: