Sebuah pita merah yang merupana simbol dari AIDS dikenakan pada lengan seorang pria untuk menunjukkan dukungan pada penderita HIV AIDS dan memperingati Hari AIDS sedunia di Kathmandu, Nepal, (1/12). |
Kepala Seksi HIV-AIDS dan IMS Dinas Kesehatan Papua Rindang Pribadi Marahaba mengatakan epidemi kasus HIV-AIDS di Papua membutuhkan penanganan bersama lebih serius dengan melibatkan semua komponen masyarakat. Ia menyebut penanggulangan HIV-AIDS di Papua bukan hanya tugasnya orang kesehatan atau Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) serta aktivis peduli HIV-AIDS.
(Baca ini: Kasus HIV/AIDS di Nabire Hingga Maret 2017 Capai 6437 Kasus, Tertinggi di Papua)
"Harus melibatkan semua masyarakat sebab problem ini sifatnya multi sektor," kata Rindang pada Ahad, 2 September 2018.
Dari data Dinkes Papua, hingga akhir Juni 2018 tercatat sudah 37.991 warga di Papua terinfeksi HIV-AIDS. Kasus terbanyak ditemukan di wilayah Nabire dan beberapa kabupaten di Papua, seperti Jayawijaya, Mimika dan Jayapura.
"Nabiire itu positif rate-nya paling tinggi yaitu sekitar 9 persen. Kalau Wamena hanya 1,8 persen. Mimika cenderung stabil di angka 1 persen. Kalau dari sisi wilayah adat, yang tertinggi itu wilayah Saireri, angkanya di atas 9 persen," kata Rindang.
(Baca ini: Jumlah Penderita HIV/AIDS di Papua Mencapai 25.233 Orang)
Menurut Rindang, kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah HIV-AIDS di Papua, yaitu tidak semua Orang Dengan HIV-AIDS atau ODHA bisa mengakses layanan obat Anti Retroviral/ARV. Obat itu merupakan obat untuk menekan pertumbuhan virus HIV dalam tubuh seseorang.
Rindang mengatakan pihaknya kini terus mengupayakan agar distribusi obat ARV bisa sampai ke tingkat Puskesmas agar ODHA lebih mudah mengakses obat tersebut dari tempat tinggalnya. "Agar distribusi obat ARV bisa sampai ke tingkat Puskesmas, maka sangat dibutuhkan komitmen petugas untuk melakukan pencatatan dan pelaporan kasus secara valid," kata dia.
(Baca juga: Kasus HIV/AIDS di Biak Capai 1.600 Kasus)
Selain itu, kata Rindang, dibutuhkan peran petugas puskesmas dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) untuk melakukan pendampingan kepada ODHA agar dapat meminum ARV secara teratur. "Persoalan yang kami temukan sekarang ada banyak kasus kegagalan minum obat ARV dari penderita HIV-AIDS karena berbagai sebab seperti layanan yang jauh dari tempat tinggal mereka, lalu tidak punya uang untuk bisa mengakses layanan dan lain sebagainya," ujarnya.
Selama tiga tahun terakhir sejak 2016, kasus HIV positif yang ditemukan di Provinsi Papua berkisar pada angka 4.000-an kasus atau positif rate-nya mencapai 3,9 persen. Namun penemuan kasus baru HIV-AIDS tersebut tidak tersebar secara merata di seluruh wilayah Provinsi Papua, mengingat di banyak kabupaten, terutama di wilayah pedalaman belum tersedia banyak layanan pemeriksaan HIV-AIDS dan layanan obat ARV.
Copyright ©Tempo "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com