" Pria lajang modern sering kurang mampu untuk mendekati perempuan, karena dalam konteks pra-industri leluhur, mekanismenya perkawinan itu diatur dan mereka tidak bisa memilih pasangan sendiri," kata Apostolou dilansir IFL Science, Kamis (9/8/2018). "Hal seperti itu tidak dibutuhkan saat ini. Sebab, masyarakat pascaindustri bisa memilih pasangan secara bebas dan tidak dipaksakan, masing-masing orang harus mencari pasangan sendiri," ujarnya. Seiring berkembangnya zaman, Apostolou mengklaim bahwa pria tidak lagi harus melakukan perjodohan atau memaksakan hubungan, sehingga pria berjuang untuk mencari pasangan sendiri. Menurutnya, ini merupakan aturan dalam mencari pasangan yang relatif baru dalam sejarah spesies kita. Namun nyatanya, hal tersebut tidak terjadi semua masyarakat dan tidak menyebar secara luas. "Ini menunjukkan, pria yang lama melajang punya sikap warisan dari nenek moyang untuk tidak cakap dalam mencari pasangan," kata Apostolou. Teori ini tentu saja dipertanyakan dan dianggap kontra-produktif untuk para pria lajang. Sebab, argumen soal evolusioner ini seolah dapat meringankan beban pria atas status lajang mereka. Oleh karenanya, Apostolou berharap di masa depan nanti para ahli dapat mengalokasikan lebih banyak upaya dalam mempelajari status jomblo dan bagaimana orang dapat mencari pasangan dan memiliki hubungan yang langgeng.
Analisis ini bukan satu-satunya alasan, sebab Apostolou hanya menggunakan informasi demografis dan tidak mengetahui usia responden, asal, latar belakang budaya, dll. Pesan yang dapat disampaikan Apostolou lewat studinya adalah banyak pria jomblo yang masih berjuang dengan ketidakpastian dalam mendapatkan pasangan. Untuk mengatasinya, kita perlu membangun masyarakat di mana para pria dapat mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka. (bazz/kmps)