Oleh : Ajun Thanjer
Kali ini saya ingin bercerita, mengingat kembali apa yang saya perbincangkan dengan seorang teman beberapa hari lalu. Karena, selain mengingatnya, juga ada sebuah pertanyaan dari sepenggal cerita yang berkaitan dengan ‘merah putihnya Indonesia dan bintang kejoranya Papua’. Dua penggal kalimat yang punya sejarah panjang . Cerita tersebut akan saya kutip lengkap dengan pertanyaannya:
Teman saya itu mengaku seorang nasionalis tulen, tapi bukan gadungan bukan pula KW. Mendaku sebagai nasionalis sosialis, ala PNI sayap kiri sebelum di tumpas bersama kelompok kiri waktu 1965. Kalau duduk bersama dengan dia, selalu ada gelak tawa kala bercengkrama. Beberapa hari kemarin, saya bertemu dengannya di jalan, diajaknya minum kopi di warung terdekat, kami pun mampir dan larut dalam cerita panjang kali lebar (kalau catat disini tidak mungkin muat, maaf ya). Karena sudah terlalu panjang ceritanya, dia lupa bagaimana melebarkan pembicaraan.
Di warung kopi yang kami kunjungi tersebut banyak juga penggemarnya. Kami berdua bercerita, mulai dari masa kecil-kecil dulu sampai masa putih abu-abu hingga pembahasan yang paling berat menurut saya, yaitu “revolusi”. Selain itu di tambah pula tentang Papua. Karena dia telah kenal saya sebagai orang yang turut mendukung Papua, maka tidak jadi satu soal untuk bercerita dengannya soal Papua. Masalahnya, di Indonesia khususnya juga di Ternate, bicara terkait ‘Papua, pelanggaran ham, kemerdekaan, dan bahkan revolusi’ akan membuat geram dan panas telinga aparat juga akan menganggap kita sebagai ancaman terhadap keutuhan Bangsa Indonesia.
Karena itulah saya langsung berbisik padanya "Bung, jangan terlalu kuat-kuat ya, kalau bicara Papua, di dalam sini mungkin ada intel, bisa-bisa kita di tangkap". Kami pun tertawa, lalu dia berkata dengan menatap tajam "mereka, yang ada disini, tidak mendengar juga tidak menghiraukan, karena mereka bukan nasionalis tulen seperti saya ini" kali ini saya yang tertawa sendiri, dia hanya tersenyum sambil menyuguhkan kopi yang baru di buat.
Saat meminum kopi matanya tertuju disaku tas saya, kain pengikat kepala bermotif bendera bintang kejora, dia mengambilnya lalu digenggam sambil sembunyikan lambang benderanya, tiba-tiba dia bertanya sambil melihat kain pengikat kepala itu "hari jumat depan kan, 17 agustus, hari kemerdekaan , bagaimana dengan Papua?" Saya diam. Dia melanjutkan dengan pertanyaan lain sambil ternyum; "apakah istri bung Karno, Fatmawati juga menjahit bendera bintang kejora?", saya kaget lalu tersenyum, mata saya melotot melihat kiri dan kanan, saya bisikkan padanya "jangan terlalu keras, bung". Dia pun tertawa sambil mengembalikan pengikat kepala itu di saku tas saya. Kami pun terdiam. Senyap.
Saya berfikir dalam hati, lalu menatap dia yang larut dalam kenikmatan kopi dan sebatang rokok. Bagaimana mungkin simbol yang dibanggakan rakyat Papua itu di jahit Fatmawati? bendera dengan aksen tujuh garis warna biru, enam garis warna putih horizontal, dan di sebelah kiri bergaris vertikal lebar berwarna merah, dan di tengannya terdapat bintang berwarna putih, tidak mungkin kulturalis indonesia. Bintang Kejora atau sapaan kemerdekaan Papua sebagai “The Morning Star” itu tidak akan ada dalam benak seorang ibu Negara (1945-1967) dan istri ketiga Bung Karno untuk dijahitnya, karena tidak pernah melihat Papua memperjuangkan Bangsanya dan mendeklarasikan kemerdekaan pada 1 desember 1961 yang kemudian di aneksasi oleh Suaminya lewat pidato berkobar-kobar di alun-alun yogyakarta tersebut.
Pertanyaan demikian seakan mengabaikan fakta-fakta sejarah bangsa Papua. Misalnya dalam buku The Morning Star in Papua Barat karya Nonie Sharp, mengatakan bahwa Bintang Fajar pada bendera Papua Barat adalah simbol gerakan Koreri, sebuah gerakan adat dan kultural dari sebuah suku. Tahun 1961, ketika perwakilan dari seluruh wilayah Papua Barat datang bersama-sama untuk memilih simbol identitas nasional, telah disepakati bahwa Bintang Fajar harus menjadi lambang bagi Papua Barat.
Juga akan membuat sakit hati Markus Wonggor Kaisiepo, seorang desainer yang menyempurnakan bendera itu, sehingga menjadi seperti yang bisa kita lihat sekarang ini.
Tapi sudahlah, itu hanya pertanyaan yang harus di jawab seadanya selayaknya teman lama, tanpa harus keluar masuk Perpustakaan, atau menjelajahi om google. Menjelang beberapa menit, saya menatapnya kembali dengan senyum. Saya langsung bilang begini; “Bung, bintang kejora tidak ada dalam benang merah putihnya Indoensia”.
**
Papua adalah sebuah bangsa yang juga punya hak dan impian untuk merdeka. Bebas dari kolonialisme, ingin hidup dan bisa menentukan nasib sendiri terlepas dari kepentingan bangsa penjajah. Papua tidak pernah mengenal merah putih, dan tidak pernah melihat merah putih. Mereka hanya mengenal bintang kejora atau “The Morning Star”. Pada waktu kemerdekaan Indonesia juga, saat di bacakannya proklamasi kemerdekaan, dan menyanyikan lagu Indonesia raya, tak seorangpun warga Papua yang turut mendengar dan menyanyikannya, karena mereka masih di terjajah oleh belanda.
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 agustus 1945 begitu pula dengan Papua pada 1 desember 1961. Di tahun kemerdekaan yang berbeda tersebut, Papua juga mempunyai manifesto politik sama seperti Indonesia. Papua dengan nama Negara Papua Barat, dengan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua seperti Indonesia “Indoensia Raya” juga mempunyai bendera Negara “Bintang Kejora” sama halnya dengan Indonesia “Merah Putih”. Kalau Indonesia dengan lambang Garuda dengan semboyang “Bhinneka Tunggal Ika” Papua pun demikian adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Alasan pencaplokan oleh Soekarno atas Papua telah membunuh ratusan bahkan ribuan nyawa rakyat Papua. Menggagalkan kemerdekaan Papua juga berarti merampas hak hidup rakyat Papua. Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Belanda.
(Baca ini: ULMWP: West Papua Tidak akan Merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia)
Itulah mengapa bintang kejora atau “The Morning Star” adalah alasan kuat pejuang dan rakyat Papua sampai detik ini. Bintang Kejora terus menjadi simbol kekuatan pembebasan orang-orang Papua. Tak sedikit yang rela berkorban hidup demi berkibarnya bendera itu. Sampai saatnya, bintang kejora akan utuh dan tak lagi di gilas merah putih.
Merdekalah Bangsa Papua, Berkibarlah Bintang Kejora!!!
_____________
Penulis adalah Anggota Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (pembebasan) Kolektif Kota Ternate
#SelamatHariUlangTahunBangsaIndonesia yang ke-73