The Indonesian Man’s Burden: Tentang Koteka dan Menyelamatkan Papua dari Ketidakberadaban

The Indonesian Man’s Burden: Tentang Koteka dan Menyelamatkan Papua dari Ketidakberadaban
‘Oh no, everyone will see our parents wearing koteka. This is really embarrassing. But it is our culture and we cannot escape it.’ Penggu laughed, ‘The government tried to give them pants but they refused to wear them!’ 
(percakapan antara Leo dan Penggu, dinukil dari Munro, 2015)

SETELAH terus terpapar dengan berita silang-sengkarut politik Jakarta yang cukup memenatkan, beberapa pagi lalu saya disapa oleh sebuah berita segar nun dari Timur yang membuat melek: di Jayapura, para mahasiswa masuk kuliah dengan mengenakan koteka! Sebagaimana diberitakan oleh Tempo dan beberapa media nasional lainnya, pionir dari aksi ini adalah seorang mahasiswa Universitas Cendrawasih, Jayapura, bernama Devio Tekege, yang mengenakan koteka ke kampus mulai pekan lalu. Mengikuti jejak revolusioner Tekege, seorang mahasiswa lain bernama Alberto dari Universitas Sains dan Teknologi, Jayapura, juga melakukan hal serupa, yang disambut dengan teguran tak bersahabat dari salah satu dosen. Menanggapi keberatan dosen tersebut, Alberto berkilah: “Kalau saya pakai busana adat, trus kalau teman-teman pakai pakaian batik itu apa bedanya?”

Bukan main!

Bagi sebagian besar orang, pakaian barangkali menjadi sebuah objek yang begitu banal, di mana pertimbangan atasnya hampir melulu ditilik dari sisi estetika dan kenyamanan. Namun, bagi mereka yang mengamini maksim “fashion is political”, pakaian yang melekat pada tubuh bermakna lebih dari sekadar kerapijalian atau kecantikan. Sebagaimana dikatakan Llewellyn Negrin, “… the body has become a self-reflexive project, integral to our sense of who we are.” Pilihan mengenai apa yang akan dilekatkan pada tubuh merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan posisi politis, ideologi, bahkan perlawanan seseorang dalam realita keseharian; sebagaimana anak punk pada medio 60-an yang mengadopsi pakaian belel sebagai sebentuk protes terhadap kemapanan dan materialisme. Muslim di Amerika Serikat hari ini memaknai jilbab sebagai resistensi terhadap fasisme dan Islamofobia yang mengganda (bahkan lebih dari mengganda) di era Trump; juga sebaliknya, perempuan di Iran menanggalkan hijabnya untuk berkata tidak kepada islamisme yang dipaksakan oleh negara. Tubuh kita, dengan kata lain, adalah medan perang zonder senjata.

Pertanyaan mengemuka manakala kita membawa bahasan ini kembali kepada aksi ‘nekat’ dua mahasiswa Papua dengan kotekanya: bagaimana tubuh-tubuh berkoteka mereka menjadi penting secara kultural dan politik dalam konteks hari ini? Juga, bagaimana kita dapat merefleksikannya vis a vis sejarah Papua dan negara bangsa?

Koteka dan Rasa Malu

The Indonesian Man’s Burden: Tentang Koteka dan Menyelamatkan Papua dari Ketidakberadaban
Devio Tekege, mahasiswa yang berkoteka di ruang kelas. Kredit foto: Tabloid Jubi.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kiranya perlu bagi kita untuk mengilas balik narasi historis yang ada di balik titel koteka sebagai pakaian yang tak cukup punya wibawa untuk masuk ke dalam kelas perkuliahan. Sebagaimana pakaian lain yang ada di dunia, koteka pun memiliki sejarahnya sendiri—yang, sayangnya, tak melulu menyenangkan untuk diketahui.

Dalam tulisannya yang ekstensif mengenai pakaian tradisional dan identitas etnis di Irian Jaya (dalam tulisan ini akan disebut Papua, sebagaimana region ini dinamai hari ini), Michael Howard menuliskan bahwa secara umum, persebaran jenis pakaian tradisional di Papua dapat dibagi menjadi dua zona: zona koteka di pedalaman, yang melingkupi nyaris semua daerah dataran tinggi dan kaki bukit Papua, dan zona pakaian kulit kayu (barkcloth) di pesisir utara dan barat. Koteka sendiri merupakan sebuah istilah dari bahasa suku Ekari yang merujuk pada penutup penis yang terbuat dari labu. Meskipun suku lain memiliki terminologi yang berbeda untuk merujuk penutup penis tersebut, sebagaimana suku Dani menyebutnya holim, koteka menjadi istilah umum yang digunakan di seluruh Papua.

Dalam rentangan zona koteka, perbedaan ornamental dan cara pemakaian koteka menjadi pembeda rumpun etnolinguistik satu dengan lainnya. Dipaparkan lebih terperinci oleh Howard, para laki-laki kaya suku Moni biasa mengenakan koteka dengan bantalan dari anyaman yang dihiasi dengan rerumputan yang menjuntai di pinggang mereka—sebuah ornamen yang tidak ditemukan di suku lain. Sementara, para laki-laki suku Yali dapat dibedakan dari laki-laki suku Dani dari cincin rotan yang membelit di pinggang mereka. Khususnya lagi pada suku Dani, koteka sekurang-kurangnya memenuhi tiga fungsi utama: pertama sebagai murni ornamen; kedua, sebagai perlindungan supranatural yang melindungi pemakainya dari arwah jahat yang bisa merasuk melalui pangkal leher atau anus; dan ketiga, sebagai fashion statement yang membedakan satu orang dengan lainnya.

Untuk waktu yang relatif lama, koteka menjadi pakaian yang begitu sehari-hari bagai pemakaianya—setidaknya hingga persinggungan dengan kolonialisme, Kristianitas, dan lebih lanjutnya negara bangsa yang mengatribusi koteka dengan nilai-nilai degradatif, terutama ‘primitif’ dan ‘memalukan’, yang sayangnya terlanggengkan hingga hari ini.

Konsep ‘malu’ sendiri sebetulnya sudah dikenal secara kultural oleh suku Dani (dalam terminologi nekali dan nayuk) dan berpusar pada aspek penampilan, reputasi, dan privasi seseorang. Sebagaimana dinukil dari tulisan Munro, orang suku Dani akan merasa malu ketika, misalnya, kebiasaan dan kelemahan yang bersifat pribadi bocor ke khalayak, atau ketika seseorang gagal untuk memenuhi kewajiban tukar-menukar seperti tidak memiliki babi untuk dipersembahkan dalam upacara kematian dan pernikahan. Mengenakan pakaian berupa penutup penis sama sekali tidak ada pada daftar hal yang membuat malu kala itu.

Namun, semenjak kolonialisme—baik oleh Belanda dalam kasus Papua Indonesia atau Australia dalam kasus Papua Nugini—beserta misi zending-nya merayap hingga pedalaman Papua, daftar ini dibuat lebih panjang: mulai saat itu, orang Papua diharuskan untuk merasa malu atas budaya mereka yang secara berulang disebut terbelakang dan penuh dosa. Sebagaimana ditulis oleh Marshall Sahlins dalam esainya mengenai transformasi sosial di Kepulauan Pasifik, untuk membuat sekelompok orang meninggalkan budayanya, “… they must first learn to hate what they already have, what they have always considered their well-being. Beyond that, they have to despise what they are, to hold their own existence in contempt – and want, then, to be someone else”. Fakta ini seakan menjadi kartu truf yang terus dimainkan oleh petugas kolonial serta misionaris untuk membuat perubahan dalam kebudayaan Papua. Pada kasus orang-orang suku Urapmin di Papua Nugini, petugas kolonial yang biasa turun ke pemukiman mereka kerap menghardik bahwa mereka serupa dengan babi dan anjing yang tidak memiliki kontrol atas diri sendiri. Pernyataan terakhir pun seakan dilegitimasi oleh seorang misionaris yang berkata bahwa sifat ‘liar’ mereka merupakan sebuah dosa yang disengaja dan sebentuk keengganan untuk bertaubat. Perlakuan demikian yang terus diulang tak ayal membawa rasa malu di antara suku Urapmin terhadap budayanya sendiri dan membuat mereka berangsur ingin berubah, bahkan tanpa perlu adanya koersi dari pihak kolonial. Papua Indonesia pun tak jauh-jauh nasibnya: para misionaris Belanda memiliki niatan besar untuk memperkenalkan pakaian Barat kepada mereka untuk menggeser koteka. Hal ini tidak berubah sampai misonaris Protestan dari Amerika Serikat menjadi pemain baru di Wamena pada tahun 1956, yang tidak melihat pakaian masyarakat Papua sebagai isu yang urgen.

Apesnya, redefinisi dan penanaman rasa malu atas ketakberabadan orang Papua ini tidak lantas mandek setelah sebagian dari Papua ‘akhirnya’ berada di bawah kuasa Indonesia sebagai negara bangsa. Orang-orang Jawa yang banyak memegang posisi penting dalam kepengaturan negara, dengan ego kulturalnya, merasa bahwa mereka memiliki misi untuk memberadabkan orang-orang Papua yang telanjang, terbelakang, dan masih bodoh—salah satunya dengan menyuruh mereka meninggalkan koteka dan mengenakan baju dari kain. Karenanya, di bawah Orde Baru, pemerintah melancarkan apa yang disebut dengan Operasi Koteka pada 1971 di Lembah Baliem dan Danau Wissel. Sekalipun Operasi Koteka merupakan operasi yang multifokus, mencakup permasalahan peternakan hingga pembangunan jamban, penggantian kultur berpakaian orang-orang Papua—terutama para pemakai koteka dari suku Dani dan Ekari—toh tetap menjadi bagian penting dari inisiatif ini. Menurut kesaksian seorang warga sipil, operasi ini memaksa tetua-tetua mereka untuk mengumpulkan koteka yang dimiliki di sebuah lapangan untuk dibakar. Introduksi masyarakat Papua kepada baju pun cukup problematis: lantaran mereka tidak memiliki baju ganti dan tidak mengenal cara pembersihan dengan sabun, penyakit kulit baru pun muncul di antara mereka. Perubahan yang dipaksakan ini tidak tanggung-tanggung menerima banyak penolakan dan resistensi dari masyarakat setempat, hingga Operasi Koteka hanya berjalan beberapa tahun sebelum dinyatakan tak berhasil. Dari sebuh catatan seorang pegawai sipil yang bertugas di Papua pada mula 1970-an, seorang Papua sempat ia beri celana untuk mengganti kotekanya—yang ia kembalikan lagi beberapa waktu kemudian lantaran ditertawakan orang kampungnya.
_____________________________
Tahun 1970-an pemerintah Indonesia melakukan operasi tumpas koteka di daerah pegunungan Tengah dan puncaknya adalah tahun 1976-78 yang menewaskan ribuan orang dan menghancurkan kampung-kampung, ternak babi dan kebun-kebun kami. Dalam beberapa laporan internasional menulis dengan jumlah korban yang berbeda. Asia human right melaporkan 4.146 orang (AHRC and ICP 2013), sedangkan Catholic Justice and Peace Commission of the Archdiocese of Brisbane dilaporkan 25 ribu orang (APCAB, 2016). Peristiwa itu kemudian menimbulkan gelombang pengungsi secara besar-besaran -- Baca selengkapnya ini: (Perjalanan Benny Wenda dari Penjara Abepura ke Internasional dan Pimpin ULMWP)
Dalam lanskap Papua hari ini, posisi koteka memang menjadi dilematis. Di satu sisi, ia masih berperan sebagai remnan identitas Papua yang paling dikenal masyarakat. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sejarah panjang humiliasi yang kadung terjadi telah membuat ‘tahu malu’ menjadi integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Papua. Hal ini kiranya cocok digambarkan dengan sebuah kalimat yang dilontarkan oleh Penggu, seorang mahasiswa berusia 30 tahun dari dataran tinggi di Papua: “Our elders used to wear just the penis sheath [koteka] and did not feel ashamed, but now, now we know the feeling of shame [malu]”. Tempat koteka, sebagaimana kita tahu hari ini, bukan lagi di latar keseharian apalagi di kampus: koteka telah tereksotisasi dan terdegradasi maknanya menjadi ‘sekadar’ pakaian penyambutan yang menyediakan objek foto bagi turis penasaran.

Misi ‘Memberadabkan’ Papua?

Cerita koteka, Papua, dan negara ini mengingatkan saya kepada sebuah puisi legendaris. Pada 1899, tahun di mana Dunia Ketiga masih dipandang seperti kue hangat yang bisa dibagi di kalangan kolonialis kulit putih, Rudyard Kipling—seorang sastrawan Inggris—menulis sebait puisi ‘heroik’ berjudul “The White Man’s Burden: The United States and the Philippine Islands”. Permulaan puisi tersebut berbunyi demikian:

Take up the White Man’s burden—
Send forth the best ye breed—
Go send your sons to exile
To serve your captives’ need
To wait in heavy harness
On fluttered folk and wild—
Your new-caught, sullen peoples,
Half devil and half child


(Pikullah beban Orang Kulit Putih—
Lahirkan keturunan terbaikmu—
Kirimkan putramu pada pengasingan
Demi memenuhi kebutuhan tawananmu
Demi memegang tali kekang
Untuk mengendalikan bangsa yang liar—
Orang-orang tangkapanmu yang sengsara,
Mereka separuh iblis, separuh bocah)

Secara garis besar, puisi ini berisikan panggilan untuk Amerika Serikat—alias the White Man—untuk mengirimkan ‘orang-orang terbaiknya’ dalam misi ‘memenuhi kebutuhan tawanan’ di negeri asing yang liar. Bagi masyarakat yang ‘sengsara, setengah iblis juga setengah bocah’, tentu kebutuhan mereka—dari sudut pandang orang kulit putih—adalah pencerahan dan pemberadaban untuk menjadi manusia paripurna. Betapa mulia mereka yang bertaruh hidup untuk membawa suluh peradaban kepada mereka yang berada dalam kegelapan! Namun, setelah puluhan dekade berlalu dan imperialisme menjadi suatu kejahatan besar terhadap kemanusiaan, dunia sepakat bahwa puisi gubahan Kipling ini ditulis berlandaskan rasisme dan Eurosentrisme yang kental—yaitu, kepercayaan yang menganggap bangsa Eropa sebagai mata air keberadaban dan moral yang superior atas bangsa lain.

Pembacaan atas puisi ini terasa begitu dekat dengan rumah. Bukan hanya karena Indonesia sempat berada di bawah bayang-bayang kolonialisme Belanda, namun juga karena Indonesia pascamerdeka hari ini ‘naik pangkat’ dan berganti peran menjadi penjajah atas mereka yang ada di Papua, mengamini dalih yang serupa dengan larik-larik puisi yang ditulis satu abad silam: untuk memberadabkan Papua yang liar. Saya pikir kita semua sudah cukup menyadari bagaimana selama ini Papua secara kontinu menjadi target program pembangunan, pendidikan, dan pencerahan yang kerap mentranslasikan progresi dengan bias ke-Indonesia-an (atau ke-Jawa-an?). Dalam konteks puisi ini, maka hari ini Indonesia lah yang menjadi the White Man gaya baru dengan superioritasnya atas mereka yang ada di Timur.

Perlu diingat bahwa penjajahan tidak melulu memanifestasi dalam bentuk perang berdarah antara pribumi-penjajah atau perintah kerja paksa tanpa bayaran gaya Daendels. Alih-alih, ia bisa mewujud dalam perenggutan identitas atau subordinasi budaya—sebagaimana penjajahan fisik, penjajahan kultural adalah sesuatu yang sama nyatanya. Meminjam istilah yang digunakan oleh Gietzelt, Papua mengalami apa yang disebut dengan ‘indonesianisasi’ secara konstan—sebuah proses konformasi Papua dengan standar modernitas Indonesia di berbagai bidang. Gietzelt juga menyertakan serentetan kasus bagaimana ini terjadi, terutama pada era Orde Baru saat artikelnya di tulis: pada bidang pendidikan, siswa-siswa Papua dipapar kepada kurikulum sekolah yang terasa jauh dari kehidupan mereka dan diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia, yang berakar dari rumpun Melayu alih-alih Melanesia, sebagai lingua franca di sekolah semenjak kelas 1 SD. Heider, sebagaimana dikutip oleh Gietzelt, mengatakan kalau sekolah telah membawa anak-anak suku Dani selangkah lebih jauh dari kehidupan Dani. Masyarakat Papua juga mengalami sensor yang ketat dalam siaran yang dapat mereka akses—membuat konten yang sampai ke telinga mereka menjadi begitu kental akan norma-norma keindonesiaan. Seakan belum cukup, budaya mereka pun turut diobok-obok: nama-nama bentang alam di tanah mereka diganti dengan paksa untuk menyesuaikan estetika dan ideologi negara dan kini, cara berpakaian mereka pun turut menjadi sasaran polisi moral. Dalam konteks koteka, pemunculan rasa malu terhadap pakaian ini merupakan bentuk penetrasi moralitas Indonesia tehadap Papua. Terbiasa dengan kultur Jawa yang berkain, logika moralitas ini lantas mengibaratkan apa-apa saja yang tak berbaju sebagai kaum terbelakang dan harus dibajui. Negara seakan tidak pernah mempertimbangkan bahwa orang-orang Papua pun sama manusianya dengan mereka yang ada di Jawa; yang, tentu saja, memiliki standar moralitasnya sendiri yang patut dipertimbangkan dalam diskursus kebudayaan Indonesia. Yang mereka tahu, mereka merupakan juru selamat yang memiliki misi untuk memberi pencerahan kepada Papua sebagai seekor domba yang tersesat.

Papua Merebut Kembali: Sebuah Kesimpulan

Jika sejarah Papua diibaratkan kanvas, barangkali kanvas itu kini belepotan dengan warna-warna asing yang bahkan tidak dipoleskan oleh senimannya sendiri. Lukisan sejarah itu telah dibajak, disetir oleh mereka yang mengaku lebih artistik ketimbang si seniman. Namun begitu, kabar baiknya adalah, orang-orang Papua bukan objek yang selalu diam ketika opresi sudah tak tertanggungkan. Mereka juga, sama seperti penjajahnya, adalah para aktor yang aktif dalam penentuan jalan hidup Papua dan suara mereka hari ini kian bergaung. Menilik kembali bagaimana koteka dan kebudayaan Papua diperlakukan di hadapan kuasa kolonial dan negara, aksi yang dilancarkan oleh Devio Tekege dan Alberto jadi bermakna jauh lebih fundamental dari sekadar aksi “mencintai budaya sendiri”—setidaknya bagi saya. Lebih dari itu, menyandingkan koteka dengan institusi akademik merupakan sebuah resistensi halus yang menantang ratusan tahun sejarah dan stigma yang dilekatkan pada koteka sebagai pakaian yang tak lebih intelek dari kain batik untuk masuk kampus—dan ya, koteka dan batik di kalimat sebelumnya barangkali bisa juga dimaknai secara metaforis.***


Penulis adalah mahasiswi S1 Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
———–
  • [1] Munro, Jenny. 2005. “ʹNow we know shameʹ: Malu and Stigma among Highlanders in the Papuan Diaspora”. Dalam From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’ (Ed. Martin Slama dan Jenny Munro). Canberra: ANU Press, pp. 188
  • [2] Tagar.id. 2018. “Pakai Koteka ke Kampus, Mahasiswa : Sama Seperti Batik”. Tempo, https://ift.tt/2sP23MN (diakses 7 Juni 2018)
  • [3] Negrin, Llewellyn. 2008. Appearance and Identity: Fashioning the Body in Postmodernity. New York: Palgrave Macmillan
  • [4]Howard, Michael C. 2000. “Dress and Ethnic Identity in Irian Jaya”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 15, No. 1 (April 2000), pp. 8
  • [5] Ibid., pp. 9
  • [6] Ibid., pp. 9
  • [7] Ibid., pp.10
  • [8] Ibid., pp. 9
  • [9] Munro, Jenny. 2005. “ʹNow we know shameʹ: Malu and Stigma among Highlanders in the Papuan Diaspora”. Dalam From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’ (Ed. Martin Slama dan Jenny Munro). Canberra: ANU Press, pp. 171
  • [10] Ibid.
  • [11] Robbins, Joel. 2005. “Introduction – Humiliation and Transfonnation: Marshall SaWins and the Study of Cultural Change in Melanesia”. Dalam The Making of Global and Local Modernities in Melanesia: Humiliation, Transformation and the Nature of Cultural Change (Ed. Joel Robbins dan Holly Wardlow). Burlington: Ashgate, pp. 4
  • [12] Robbins, Joel. 2005. “The Humiliations of Sin: Christianity and the Modernization of the Subject among the Urapmin”. Dalam The Making of Global and Local Modernities in Melanesia: Humiliation, Transformation and the Nature of Cultural Change (Ed. Joel Robbins dan Holly Wardlow). Burlington: Ashgate, pp. 48
  • [13] Ibid.
  • [14] Howard, Michael C. 2000. “Dress and Ethnic Identity in Irian Jaya”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 15, No. 1 (April 2000), pp. 14
  • [15] Gietzelt, Dale. 1989. “The Indonesianization of West Papua”. Oceania, Vol. 59, No. 3 (Mar., 1989), pp. 205
  • [16] Howard, Michael C. 2000. “Dress and Ethnic Identity in Irian Jaya”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 15, No. 1 (April 2000), pp.
  • [17] Glazebrook, Diana. 2008. “Speaking historically about West Papua”. Dalam Permissive Residents. Canberra: ANU Press
  • [18] Bang, Peter. 2018. Papua Blood: An account of West Papua. Kopenhagen: Books on Demand, pp. 10
  • [19] Boray, Joel. 2012. “Koteka is Better than Pants”. Dalam An Oral History of Papuan Administrators, 1950-1990 (Ed. Leontine Visser). Leiden: Brille
  • [20] Munro, Jenny. 2005. “ʹNow we know shameʹ: Malu and Stigma among Highlanders in the Papuan Diaspora”. Dalam From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’ (Ed. Martin Slama dan Jenny Munro). Canberra: ANU Press, pp. 169
  • [21] Gietzelt, Dale. 1989. “The Indonesianization of West Papua”. Oceania, Vol. 59, No. 3 (Mar., 1989)
  • [22] Ibid., pp. 203

Copyright ©IndoPROGRESS "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Subscribe to receive free email updates: