Foto: Siswa-siswa Sekolah Dasar (SD) di Papua. |
Pace Hat namanya. Ini bukan nama sebenarnya. Dan, Anda boleh percaya bahwa dia tokoh faktual. Tetapi mau meyakini dia hanya tokoh fiktif belaka, pun tak soal.
Saya telah bertemu dengannya berkali-kali. Dan cerita yang dia kisahkan tak pernah membosankan untuk didengar. Tentang Papua. Tentang bagaimana aspirasi merdeka kian tumbuh justru di kalangan anak-anak muda.
Siang itu akhirnya kami berjumpa di sebuah kantin instansi pemerintah. Kami sudah berjanji bertemu sejak sepekan sebelumnya. Namun, ia belum menetapkan lokasinya. Sampai tiga kali ia memutuskan berpindah tempat pertemuan. Mungkinkah ia merasa tak aman? Pilihan akhirnya ia pastikan di kantin itu. Ia mengabarkan lewat pesan SMS.
Pace Hat, seperti pernah saya laporkan pada tulisan sebelumnya (Lihat: Menebus Dosa dengan Memerdekakan Papua), adalah seorang Papua. Ia tokoh aktivis pemuda di zamannya. Umurnya kini 60-an.
Di masa kecil ia masih sempat menikmati sekolah di zaman Belanda di Papua. Ia juga masih dapat mengenang bagaimana Belanda memajukan ekonomi dan pendidikan di Papua, sebelum apa yang ia anggap sebagai ‘aneksasi’ Indonesia ke Papua.
Pace Hat dulu aktivis kampus. Banyak adik kelasnya telah jadi ‘orang’ berkat mentoringnya. Ia pernah jadi PNS lalu kemudian menjadi tokoh LSM dan tokoh politik Papua tahun 2000-an.
Ketika menjadi aktivis LSM itu ia mendapati kesadaran yang lebih utuh perihal betapa orang-orang Papua termarjinalkan dengan parah. Maka ia memimpikan Papua yang berdaulat, tempat di mana orang-orang Papua memimpin di tanahnya sendiri. Tidak didiskriminasi dan dipinggirkan.
Setelah tampil di front terdepan menyuarakan kemerdekaan Papua pada akhir dekade 1990-an hingga 2000-an, ia mengatakan saatnya dirinya dan kawan-kawannya menepi. Ia kini menaruh harapan besar pada anak-anak muda, yang dalam pandangannya, telah mulai menerima tongkat estafet.
“Sekarang kami berjuang seperti menyelam. Tiarap. Kalau dulu terbuka. Kenapa? Ini ada kaitannya dengan anak-anak muda. Generasi di bawah kami tidak tahu apa itu Bintang Kejora. Melihat pun mungkin mereka tidak. Sementara, di masa muda kami, kami masih menyaksikannya. Anak-anak muda itu tidak tahu lagu Hai Tanahku Papua, sampai kemudian pada tahun 1999, kami paksakan bendera itu dikibarkan dan lagu itu dinyanyikan.”
Begitu kata Pace Hat, merujuk pada peristiwa 1 Desember 1999, ketika sejumlah angota kelompok pro-kemerdekaan Papua mengibarkan Bendera Bintang Kejora di bekas gedung kantor DPRD Kabupaten Nabire, selama tiga bulan sebelum akhirnya diturunkan.
Bukan rahasia lagi, anak-anak muda Papua makin banyak yang merasakan perlu mempelajari sejarah Papua. Dan makin mereka kenali sejarah itu, acap kali menciptakan momentum perubahan dalam cara berpikir mereka tentang masa depan tanah kelahiran mereka.
Sebagai contoh, sebuah laporan yang ditulis oleh Connor Woodman, mahasiswa University of Warwick, Inggris, yang dipublikasikan oleh Asia Pacific Report pada tahun 2016, menggambarkan bagaimana sejumlah mahasiswa asal Papua yang belajar di Australia mulai bersuara kritis dan vokal. Walaupun mereka dibiayai oleh beasiswa dari pemerintah, itu tak menghalangi mereka mulai menyuarakan aspirasi menentukan nasib sendiri.
Mereka mulai ikut forum-forum diskusi dengan risiko mereka mendapat teguran. Menurut laporan Woodman, para mahasiswa itu mengeluh karena merasa pemerintah membungkam aspirasi mereka dengan berbagai cara. Termasuk dengan menghentikan dukungan finansial bagi kehidupan mereka di sana.
Salah seorang mahasiswa bernama Ian Okoka yang diwawancarai, mengatakan ia mulai aktif dalam menyuarakan kemerdekaan Papua pada tahun 2010. Dan sejak itu hidup dan studinya ia rasakan tidak tenang.
Pace Hat tak heran dengan anak-anak muda yang mulai bersuara lantang itu. Ia tak heran bahwa anak-anak muda yang di masa kecilnya tak mengenal lagu Hai Tanahku Papua dan tak pernah melihat bagaimana upacara menaikkan bendera Bintang Kejora yang terlarang di Indonesia, ternyata dengan cepat dapat mewarisi nilai-nilai kesejarahan Papua lewat berbagai saluran.
Sejarah Papua dalam kacamata orang Papua, memang tak diajarkan di sekolah-sekolah. Tetapi anak-anak muda itu memperolehnya dengan cara mereka sendiri.
“Sekarang yang tampak justru anak-anak itu yang lebih kencang menyuarakan ketidakpuasan terhadap Jakarta. Dan itu adalah ‘anak-anak Indonesia’ semua. Mereka lahir dan dibesarkan ketika Papua sudah berintegrasi dengan Indonesia,” kata dia.
“Mereka dapat dikatakan sebagai ‘anak kandung’ Indonesia, dibandingkan dengan kami yang masih sempat menikmati zaman Belanda. Di sekolah mereka diajarkan tentang sejarah Indonesia. Sejarah NKRI.
Pertanyaan serius, kenapa sekarang justru pergerakan (menyuarakan aspirasi merdeka) dimotori oleh ‘anak-anak Indonesia’ ini, anak-anak yang lahir di zaman Indonesia?
Jika orang-orang seperti saya yang bergerak, masih wajar karena saya hidup di zaman Belanda, UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), sebuah badan pelaksana sementara PBB yang berada di bawah kendali Sekretaris Jendral PBB. UNTEA dikepalai oleh seorang yang diangkat oleh Sekjen PBB dengan persetujuan antara Indonesia dan Belanda dan bertugas menjalankan pemerintahan Irian Barat dalam waktu satu tahun/1962-1963) dan Orde lama, lalu Orde Baru.
Tetapi sekarang anak-anak baru seperti Buchtar Tabuni, dengan gaya yang lebih radikal justru muncul di depan. Mengapa?’ Itu tanggung jawab RI. Kenapa dia sekarang ditampar oleh anak kandungnya sendiri,” Pace Hat menjawab sendiri pertanyaannya.
Siang itu adalah pertemuan kami yang kesekian kali. Apa yang ia ceritakan ini kami rencanakan akan menjadi bagian dari buku memoarnya.
Pace Hat sesungguhnya enggan menulis memoar, karena ia merasa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan di Papua. Dan pekerjaan rumah itu semua harus dikerjakan dengan ‘keringat,’ bukan pena.
Tetapi pada saat yang sama, ia juga mengakui tidak bisa mengabaikan desakan agar menulis buku.
“Saya didesak untuk menuturkan dan menceritakan perjuangan dengan keringat itu, dalam memperjuangkan nasib Papua. Desakan-desakan seperti ini tak pernah berhenti. Bahkan, akhir-akhir ini semakin intens dari berbagai penjuru. Kalangan masyarakat sipil (civil society) di Papua tak henti-hentinya mengatakan perlunya kisah-kisah yang saya alami dituliskan dan dibukukan.
Apakah itu ketika menjadi aktivis di pedalaman Papua, memperjuangkan kemerdekaan Papua, mendekam di dalam penjara, berjuang bersama masyarakat sipil di dalam dan di luar Papua, dan pengalaman-pengalaman lapangan lainnya yang mungkin tak akan pernah dapat ditemukan dalam buku teks yang ditulis para sejarawan dan ilmuwan,” kata dia.
Kami senang mendengar penjelasannya ini. Dan, sesungguhnya itulah alasan kami duduk dan menemuinya. Kami ingin sekali kesaksian-kesaksiannya tentang Papua dibaca dan diketahui sebanyak mungkin orang.
Kembali ke soal mengapa justru anak-anak muda, yang lahir dan dibesarkan di era integrasi dengan RI yang vokal menyuarakan aspirasi penentuan nasib sendiri di Papua, Pace Hat melanjutkan pendapatnya.
Suatu hari pada tahun 1988, seorang tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tom Wanggai membacakan proklamasi berdirinya negara Melanesia Barat dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di Stadion Mandala, Jayapura. Heboh.
Tom Wanggai dikenal salah seorang tokoh OPM yang berpendidikan tinggi. Ia penyandang gelar doktor di bidang hukum dan administrasi publik dari Jepang dan AS, sebelum bekerja di kantor gubernur Irian Jaya (sekarang Papua).
Tom Wanggai menjalani sidang di pengadilan akibat perbuatannya itu. Ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Mahasiswa ramai datang menghadiri sidangnya. Dan ini rupanya menjadi perhatian Pangdam. Maka Pangdam memanggil sejumlah aktivis LSM ke kantornya. Mereka diajak diskusi. Pace Hat turut di antara undangan.
“Waktu itu Pangdam bertanya, kenapa pada sidang aktivis itu justru yang banyak datang adalah anak-anak muda yang lahir pasca tahun 60-an. Mengapa mereka yang justru vokal. Saya menjawab: itu karena dua hal. Pertama karena Indonesia menyembunyikan sejarah yang sebenarnya dan yang kedua ada penetesan ideologi secara tidak terlihat di dalam rumah orang-orang Papua.
Ketika anak bertanya, ‘Mama, Bapa di mana? Oh dulu Bapa dibawa tentara diculik lalu dibunuh.’ Maka itu muncul sebagai catatan tak tertulis dalam otak mereka. Mereka sekarang berteriak. Memang dulu kami (para seniornya) yang mengibarkan Bintang Kejora tetapi mereka kini mengikuti,” kata Pace Hat dalam percakapan kami siang itu.
Ia menghirup kopinya. Kantin tempat kami sudah sepi. Waktu makan siang para karyawan sudah lama berlalu.
“Anak-anak muda yang bergerak itu, dulu ketika mereka masih sekolah kami perintahkan untuk demo, kami suruh turun dan berteriak di jalan. Beberapa di antara aktivis itu kini telah menjadi pejabat. Ada yang jadi bupati. Anak-anak muda ini punya karya luar biasa.
Saya justru kagum kepada mereka. Padahal, banyak dari antara mereka dulu masih anak-anak rumahan, tetapi kami perintahkan untuk pergi demo. Sekarang mereka telah tampil di depan. Karena itu saatnya kami yang tua menganggap perlu tiarap dulu.
Namun pada saat yang sama semua selalu komunikasi sampai sekarang. Jadi anak-anak muda itu punya peran besar, Hanya saja kami perlu bantu mereka untuk mendengar apa kata sejarah, supaya mereka tidak tersesat.”
Masing-masing generasi akan menemukan caranya sendiri menemukan kebenaran sejarah. Namun pada saat yang sama, akan sangat membantu ketika ada yang sudi memandu.
Penemuan sejarah ini oleh anak-anak muda Papua tampaknya bergerak dinamis. Ada perdebatan. Ada tarik ulur. Pro-kontra. Tetapi itu justru semakin menggairahkan anak-anak muda Papua belajar tentang masa lalunya untuk merumuskan masa depan negerinya.
“Dulu, setelah duduk di bangku SMA saya mulai membaca-baca buku sejarah,” begitu Pace Hat berkisah.
Di masa SD, yang ia pelajari adalah sejarah versi kurikulum Belanda. Tetapi sejak SMA, ia menemukan hal lain.
“Di kelas 3 SMA saya banyak mendalami sejarah Timor Timur. Dan pengalaman traumatis saya semasa kecil, membentuk kesadaran sedikit demi sedikit sehingga ketika kuliah, saya sudah berani mengatakan bahwa saya ternyata selama ini mempelajari sejarah yang salah.
Saya mulai urut-urutkan sejarah Proklamasi Indonesia dan mulai menyadari mengapa kami ketika kecil tidak diajarkan proklamasi itu. Kenapa kami tidak tahu Sumpah Pemuda. Dan pahlawan-pahlawan itu satu pun tidak ada yang memiliki akar dan korelasi dengan kehidupan kami,” kata Pace Hat.
“Inilah menurut saya jawaban apabila ditanya, dari mana datangnya kesadaran untuk merdeka dan kapan hal itu kami peroleh. Kesadaran yang muncul karena merasa menjadi pemilik sah negeri yang kami sudah tinggali turun-temurun. Namun juga karena kami mengalami, ada ‘tamu’ masuk dan kemudian tamu ini tiba-tiba ambil alih semua, bahkan barang dalam rumah juga diambil,” kata dia, menggambarkan bagaimana Indonesia masuk ke Papua.
“Barangkali ada yang berkata bahwa itu adalah pengalaman khas generasi kami, yang mungkin tidak dialami oleh generasi sesudah kami, yang hidupnya sepenuhnya sudah di era Orde Baru dan Orde Reformasi. Lalu apakah aspirasi merdeka yang kami bawa sejak kecil itu masih diwarisi juga oleh generasi yang lebih muda?
Saya tetap mengatakan bahwa belum banyak yang berubah. Lebih 50 tahun Indonesia menduduki Papua dan Jakarta gagal meng-Indonesia-kan orang Papua. Jakarta hanya sukses meng-Indonesia-kan Ormas Papua, tetapi sesungguhnya orang Papua tidak pernah menjadi Indonesia.”
“Saya kira Jakarta tidak sungguh-sungguh ingin menjadikan Papua bagian yang utuh dari Indonesia. Jakarta hanya berkepentingan dengan Sumber Daya Alam. Padahal, bila pembangunan Papua benar-benar dikerjakan, dan keadilan diciptakan, cerita merdeka sebetulnya masa lalu.”
Ia menghela nafas agak panjang.
Kami rasa cukup perbincangan kami sore itu. Dada kami turut merasa sesak dengan berbagai beban pikiran dan permasalahan yang dikemukakannya. Kami kemudian mengalihkan perbincangan ke hal-hal lain yang lebih ringan. Hal-hal yang bisa membuat kami tertawa sejenak. Tetapi di dalam hati kami tahu, ada yang terus masih mengganjal soal Papua.
Dua tahun sudah percakapan kami berlalu. Dan buku yang kami rencanakan belum jua rampung.
Posted by: Wim Geissler
Copyright ©Qureta "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com