Saya baru pulang dari masjid, ketika mengetahui ada pesan singkat di inbox fanpage saya yang isinya tentang masalah hubungan percintaan dari seorang perempuan. Saya tidak mengenal dia. Dan sebaliknya, dia juga pasti tidak mengenal saya kecuali hanya dari tulisan-tulisan yang ia baca saja.
Ia menanyakan sesuatu: "Bang Syaiha, terimakasih sudah sering berbagi tulisan yang menginspirasi, enak dibaca, dan bergizi. Saya selalu suka membaca tulisan Bang Syaiha dan beberapa kali membagikannya di beranda facebook saya sendiri."
Saya bergumam dalam hati. terimakasih.
"Tulisan-tulisan Bang Syaiha kan berasal dari pertanyaan-pertanyaan seseorang. Nah, karena hal itulah, saya pun sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu. Silakan dibuatkan tulisannya, agar saya bisa membacanya dan siapa tahu berguna untuk yang lain juga."
Saya diam, membaca pelan-pelan.
"Begini Bang. Saya baru saja menikah, Alhamdulillah. Dulu, saya kenal dengan suami saya ketika ia baru saja bubar dengan pacarnya dan saya juga demikian. Kami merasa senasib sepenanggungan. Lalu bertemu dan saling suka. Karena memang jodoh kali ya, hubungan kami seakan dimudahkan Allah dan kemudian kami menikah tidak berselang lama."
"Pernikahan kami sederhana. Yang penting halal." ia berkata demikian, "Kami sadar bahwa kehidupan yang sesungguhnya itu terjadi justru setelah akad terucap. Makanya kami memang tidak ingin bermegah-megahan dalam menyelenggarakan resepsi pernikahan."
"Lalu setelah menikah, kami bahagia. Seharusnya begitu seandainya ia tidak terus-menerus menceritakan tentang masa lalunya dengan mantan. Ia mengisahkan semuanya ke saya, padahal saya tidak meminta. Dan ketika suami saya menuturkan kisah cintanya sebelum saya, ia sepertinya memang bahagia sekali. Kelihatan Bang dari raut wajah, sorot mata, dan senyumannya."
"Yang ingin saya tanyakan, apakah memang perlu ia menceritakan masa lalu dia ke saya, Bang? Apakah ia tidak mengerti, bahwa perasaan saya sakit setiap kali ia memuji-muji mantannya. Mengatakan bahwa mantannya adalah perempuan yang cantik, baik, dan seandainya bukan karena salah paham, pasti mereka tidak berpisah."
"Apa yang harus saya lakukan, Bang Syaiha?"
Nah, apa nih yang harus dilakukan si mbak? Ada yang bisa jawab? Monggo sampaikan masukan di kolom komentar saja yaaa...
Tapi menurut saya, pertama, seharusnya si suami nggak perlu menceritakan semua kisah dia ke si mbak. Mengapa? Karena perempuan memiliki perasaan yang halus. Ia sungguh sensitif. Ia tidak ingin disaingi, dan maunya memang menjadi orang nomor satu di hati pasangannya. Maka sekali lagi, menceritakan masa lalu walau bagi laki-laki mungkin adalah bentuk keterbukaan dan ingin tidak ada rahasia di antara mereka bagi perempuan tidak perlu.
Masa lalu biarkan berlalu. Lupakan! Jika ingin mengingatnya, maka sesekali saja. Masa lalu itu seperti kaca spion pada sebuah kendaraan. Ia diperlukan ada, dilihat satu dua kali agar jalan yang kita hadapi ke depan bisa lebih baik lagi. Bukan sebaliknya, kalau spion dilihat sering-sering dan malah fokus kesana ketika waktu terus berlari, maka bisa celaka ujung-ujungnya.
Kedua, jika si mbak yang bertanya tidak nyaman dengan curahatan suami tentang masa lalu dia, maka sebaiknya dikomunikasikan dengan benar. Bilang saja bahwa mbak nggak suka dan berhentilah mengenang masa lalu.
Mbak dan dia menikah kan ingin menjalani masa depan, menuju jalan yang lebih baik. Meniti harapan dan perjuangan. Masa lalu biarkan di belakang saja. Jadikan pelajaran dan ambil hikmah kebaikannya jika memang ada.
Dalam menjalankann biduk rumah tangga, komunikasi adalah hal penting yang harus dijalankan dengan baik. Ada masalah yang mengganjal, maka sampaikan dengan bijak di waktu yang tepat. Jangan dipendam-pendam. Karena jika didiamkan, kuatirnya malah menjadi seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Tinggal nunggu pemicunya saja. Sekecil apapun pemicu itu, kalau sudah terlalu lama mengganjal di dalam dada, maka ledakannya bisa besar dan mengerikan.
Banyak sekali kan, keluarga-keluarga yang gagal sampai ke tujuan hanya karena salah dalam menjalankan komunikasinya. Dan jangan sampai keluarga kita demikian.