Darurat Kebebasan Berekspresi, Papua Makin Disorot

Darurat Kebebasan Berekspresi, Papua Makin Disorot
Ilustrasi demonstrasi di London 2015 mendorong kampanye global menyoroti ketiadaan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Papua - Foto: ifex.org
Jayapura -- Kondisi memburuknya kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua mendapat sorotan dari Setara Institut di Jakarta dan mekanisme Universal Periodic Report (UPR) Dewan HAM PBB.

Setara Institut mencatat turunnya skor pada variabel kebebasan berekspresi dan berserikat di Indonesia khususnya dipicu oleh meningkatnya pembatasan kebebasan berekspresi melalui praktik kriminalisasi terhadap aktivis HAM, warga Papua, dan jurnalis. 

“Skor kebebasan berekspresi dan berserikat turun 0,08 persen, dari 2,18 di tahun 2015 menjadi 2,10 di tahun 2016,” ujar Ahmad Fanani Rosyidi, peneliti HAM Setara Institut kepada Jubi Rabu (14/12/2016).

SETARA Institute mencatat Papua menjadi daerah darurat Kebebasan berekspresi dengan membukukan 29 orang yang mengalami kriminalisasi, 2.397 orang ditangkap saat berunjuk rasa, 13 orang dibunuh, 68 orang ditembak, dan 2 peristiwa percobaan pembunuhan.

“Skor tersebut kami tetapkan berdasarkan hasil survey 202 responden, mayoritas dari kalangan akademik dan sisanya dari kalangan penggiat HAM, aktivis dan tokoh masyarakat. Data-data Papua kami dapatkan dari berita media dan laporan-laporan sepanjang 2016, sehingga kami bisa simpulkan sebagai situasi darurat kebebasan berekspresi di Papua,” ungkapnya.

Fanani juga menyoroti hingga September 2016 masih terdapat 41 orang tahanan politik di Papua.

Terpisah, menurut database Universal Periodic Report (UPR) terbaru yang dikeluarkan Dewan HAM PBB, kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia disoroti oleh setidaknya tujuh negara.

Republik Korea meminta agar Indonesia memfasilitasi masuknya Special Rapporteur on Freedom of Expression, Swiss, Australia, dan Perancis juga demikian sambil menekankan perlindungan terhadap para pembela HAM dan pengadilan kejahatan HAM.

Secara khusus, Jerman, Amerika Serikat dan Kanada secara khusus menyoroti Indonesia atas penggunaan pasal makar 106 dan 110 untuk menghambat kebebasan berekspresi.

“Khususnya di Papua, harus diambil langkah untuk meningkatkan perlindungan pembela ham dari stigma, intimidasi, dan serangan lainnya untuk menjamin kebebasan berekspresi dan protes damai, termasuk meninjau ulang semua regulasi yang dapat digunakan untuk menghambat kebebasan berekspresi khususnya pasal 106 dan 110 di KUHP, serta membebaskan semua tahanan politik yang melakukan aktivitas politik damai,” demikian rekomendasi dari Kanada terhadap Indonesia di dalam UPR.

Respon Kementerian Luar Negeri

Dilansir Merdeka.com (14/12) Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Indonesia Dicky Komar menyebutkan hanya lima dari 150 rekomendasi yang diberikan PBB terkait masalah Papua.

"Saya tegaskan, dari 150 rekomendasi yang kita terima di bawah mekanisme pengajuan periodik universal (UPR), rekomendasi tentang Papua dari PBB hanya lima. Perlu dipahami, bukan mengecilkan tetapi kita lihat secara proporsional, bahwa betul ada permasalahan," ujar Dicky dalam acara Konsultasi Nasional Pelaporan Indonesia pada Badan Traktat HAM Internasional dan Mekanisme Universal Periodic Review, Rabu (14/12) di Hotel Sari Pan Pasifik.

Menurut Dicky, pemerintah Indonesia di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan sedang mengupayakan penghentian pelanggaran HAM di Papua. "Secara bersamaan kita juga melakukan perbaikan di Papua. Presiden Joko Widodo punya perhatian sangat khusus di Papua, terutama untuk masalah HAM," lanjut Dicky.(*)



Copyright ©Tabloid JUBIHubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :