Cinta Tidak Harus Memiliki


“Elu masih mikirin dia?” Ana memandang ke arahku, sorot matanya menyelidik. Dan karena aku tidak menjawab pertanyaannya barusan, Ia lalu mendengus, berkata kemudian, “Kurang kerjaan banget! Kayak dia sekarang mikirin elu aja! Dia sedang bulan madu di Bali dan bersenang-senang! Elu malah hidup kayak kapal usang yang bersiap karam karena nabrak batu karang!”

Aku tidak mendengarkan ocehan Ana barusan, lebih sibuk mengaduk jus alpukat yang entah sudah berapa lama kutelantarkan. 

Ana menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, meraih gelas minuman dan menyesapnya sejenak, lalu kembali berujar, “Cinta itu nggak harus memiliki, Del. Dan kalau sekarang Rangga berbahagia dengan orang lain, itu sudah jalan takdir kalian.”

Sambil menggelengkan kepala pelan, aku akhirnya  berkata, “Tapi aku belum bisa ngelupainnya, An. Nggak bisa!”

Dan bersamaan dengan itu, entah darimana datangnya, mataku menghangat dan pandanganku menjadi buram. Ada air yang menggenang tiba-tiba, memenuhi bola mata, dan kemudian mengalir jatuh. Ana menyodorkan tisu yang langsung kuambil segera.

“Menangis lah, Del. Keluarin aja semuanya. Jangan ditahan-tahan.”

Kalimat itu seperti perintah raja kepada bawahannya. Pikiranku manut dan aku kemudian tergugu. Ana meraih tubuhku, memeluknya sedemikian hangat dan erat. Ia bilang, “Nggak apa-apa, Del. Semua akan baik-baik saja.”

Bahuku semakin bergetar, dengan suara patah-patah, aku berujar, “Aaa.. aku.. masih cinta sama Rangga, An...”

Ana diam, tapi telapak tangannya mengusap-usap punggungku. Persis seperti seorang ibu sedang menenangkan anaknya yang gundah. Perlahan tapi pasti, ada kedamaian yang kurasakan. Aku masih menangis, tapi tidak lagi tersedu sedan.

Sambil menggigit bibir, aku bertanya, “Aku bingung harus bagaimana, An?”

Tepat ketika aku selesai dengan perkataanku barusan, Ana melepaskan pelukannya. Ia memegang pundakku dengan kedua tangan, memandangku dengan sorot mata yang menentramkan. Dalam posisi ini, kami hanya berjarak satu lengan. Ana bilang dengan penuh keyakinan, “Gue yakin elu bakal bisa ngelewatin ini semua, Del. Elu temen gue yang paling kuat dan selalu bisa menjalani setiap masalah dengan baik. Jika sebelum-sebelumnya elu selalu berhasil melewati setiap rintangan, maka kali ini pun gue yakin elu bisa.”

Aku diam, mendengarkan penuh kesejukan.

“Sudah, hapus air mata elu gih! Nih tisunya...”

Aku mengambil selembar kertas tipis yang baru saja ia sodorkan, lalu membersihkan wajahku yang basah.

“Sudah plong?” Ana bertanya.

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, yuk ke kelas. Kita kan ada kuliah sebentar lagi. Filsafat Pendidikan. Itu loh, dosennya pak Fadhli. Si tua keladi yang pinternya setengah mati!”

___________________________
Tulisan ini terinspirasi dari tulisan salah satu member One Day One Post. Klik DISINI

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :